Herucoroko Sangkan Paran

Ungkapan yang sangat umum menggambarkan pandangan hidup orang Jawa adalah " SANGKAN PARANING DUMADI " (dari mana dan mau ke mana kita). Bagi orang Jawa hidup di dunia ini harus memahami dari mana ' asal , akan ke mana 'tujuan' dan 'akhir' perjalanan hidupnya dengan benar kassampuraning dumadi (kesempurnaan tujuan hakikat) dianggap " WIKAN SANGKAN ING PARAN ". Masyarakat Jawa mengartikan kata 'Jawa' bermakna 'mengerti' atau paham. Oleh karena itu, di dalam keseharian sering terdengar masyarakat Jawa melontarkan ungkapan seperti: 'durung jawa' (belum paham), 'wis jawa' (sudah paham), atau 'wis ora jawa' (berubah sombong atau atau buruk karena menjadi kaya -OKB- menjadi punya jabatan, menjadi punya pangkat, dll).

21 November 2007

TANGGALKAN TEROMPAHMU


Mencermati judul diatas, sejenak pikiran kita akan mencoba menerawang kembali kepada sebuah kisah tentang sejarah perjalanan Nabi Musa ketika menerima “ Wahyu “ dari Tuhan Pencipta langit dan bumi di Lembah Thuwa.

Menelisik sejarah perjalanan rohani Nabi Musa yang telah berguru kepada Nabi Syueb yang tak lain adalah mertuanya sendiri selama kurun waktu sekitar 10 tahun. Pengabdian total kepada sang Guru Nabi Syueb yang diwujudkan dalam bentuk mengembalakan domba-domba mertuanya selama kurang lebih 40 tahun merupakan perjalanan spiritual dengan meluruhkan sifat “ EGO “ dihadapan sang Guru Nabi Syueb. Hilang sudah segala sifat yang dimiliki Musa pada fase “ FANA dalam DIRI “.
Dalam perjalanan mengembala domba-domba, Musa beserta keluarganya sampai di Gunung Sinai dan melihat Api yang menyala di gunung itu, maka Musa ingin mencari sumber api itu untuk menghangatkan tubuh keluarganya yang sedang kedinginan. Dalam bahasa Al Quran api disebut dengan kata “ NAR “ yang ternyata api itu tidaklah membakar semak-semak berduri. Tanpa mempermasalahkan sebutan tentang api yang menyala yang seolah membakar semak berduri. Saya mencoba memahaminya nyala api itu sebagai “ CAHAYA “ alias Nur. Jadi yang Nampak oleh Musa pada saat melihat api itu hanyalah CAHAYA… Makanya, ketika Musa secara kasad mata melihat bahwa semak berduri itu tidaklah terbakar oleh nyala api fisikal.
Saat Musa mendekati nyala api itu semakin dekat, Musa mendengarkan suara dibalik api itu sebagaimana telah dijelaskan dalam sebuah teks book Kitab Suci QS. Thaahaa. 11 – 14 :

“ Maka ketika ia datang ketempat api itu ia dipanggil : “ Hai Musa “. Sesungguhnya Aku ini adalah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu,
sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan. Sesungguhnya Akumini adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka mengabdilah ( sembahlah ) Aku, dan dirikanlah shalat untuk berdzikir ( mengingat ) kepada Aku “.

Setelah cahaya itu diperhatikan dengan seksama dengan penuh kesadaran DIRI, ada perintah yang diterima Musa ialah menanggalkan “ kedua Terompah “ atau alas kakinya. Apa makna yang tersirat dari yang tersurat tentang terompah disini…??. Jika yang dimaksud terompah adalah berupa alas kaki yang sebenarnya dalam bentuk dan wujud fisik ( materi ), maka sebenarnya tak ada alasan lagi untuk dilepaskan. Bukankah pada saat itu telah disebutkan bahwa Musa telah berada di lembah Suci Thuwa..?.
Artinya, Terompah itu mau dilepaskan atau tidak toh tetap saja Musa dan Terompahnya tetap berada di tempat yang Suci..ya..nggak..ya nggak…!!.
Dari rangkaian 4 ayat di atas, sebenarnya telah dijelaskan bahwa Terompah itu dilepaskan karena Tuhan telah memilih Musa agar dapat mendengarkan apa-apa yang diwahyukan Tuhan kepada Musa. Terompah macam apa sih kok bisa menghalangi suara Tuhan jika Terompah tersebut tetap dipakai oleh Musa…?. Bukankah Musa telah mendengarkan perintah Tuhan pada panggilan yang pertama kalinya yang pada saat itu Musa masih memakai Terompahnya…?.

Mari kita cermati, pikirkan dan renungkan bersama-sama….!!
Kita perhatikan sekali lagi, perintah bahwa Terompah harus dilepaskan agar Musa dapat mendengarkan apa-apa yang diwahyukan oleh Tuhan kepadanya. Apa hubungannya sepasang Terompah dengan Wahyu Tuhan yang akan disampaikan kepada Musa…?.
Berbagai penafsiran dalam memahami ayat ini, banyak para sufi ingin tahu makna dibalik menanggalkan Terompah. Ada yang memahaminya Terompah itu sebagai wujud “ HARTA BENDA, Keluarga “ atau segala bentuk wujud fisik dan materi lainnya. Bukankah keluarga dan domba-dombanya telah ditinggalkan pada saat Musa menghampiri nyala api di lembah Thuwa…?. Dan, Bukankah Musa pada saat itu juga masih memakai baju dan tongkat yang menyertainya…?.
Jika perintah untuk melepaskan sepasang Terompah kita pahami sebatas wujud benda fisik dan meteri, rasanya kok belum pas yah…
Lalu apa sebenarnya makna yang bisa dipahami untuk mendekati ketepatan yang tersirat…?.
Bagaimana kalau perintah untuk melepaskan sepasang Terompah tadi kita maknai sebagai wujud “ KEBERADAAN yang FANA ….? “ yakni menanggalkan segala bentuk ke-AKUAN yang ada dalam DIRI Musa baik itu berupa AKAL PIKIRAN dan NALURI. Yah…FANA merupakan suatu keadaan seseorang yang sudah tidak lagi menginginkan “ HASRAT “ keutamaan keindahan, gemerlapnya dunia dan kenikmatan di akhirat.
Seseorang yang sudah berhenti pada stasiun FANA telah berada pada fase kondisi dan keadaan “ Lebur dan Lenyap dalam KEHAMPAAN “ yang ada hanyalah Allah sang Raabul Alamin. Untuk mencapai FANA ini, seseorang haruslah MENGOSONGKAN DIRINYA dari segala macam bentuk ke-AKUAN ( sepasang Terompah ) yang melekat dijasad fisiknya, yaitu MENGOSONGKAN HATI ( batin ) dari berbagai hasrat KEINGINAN LAHIRIAH dan MENGOSONGKAN PIKIRAN daripada khayalan dan lamunan serta impian yang tak terkendali dalam meraih perhiasan duniawi sebagai tujuan pokokrus dilakukan Musa, agar sura-suara Tuhan tadi dapat diterima dengan KEKOSONGAN HATI dan PIKIRAN dari hasrat dan ilusi yang digambarkan dalam bentuk “ KIASAN “ sebagai wujud sepasang Terompah.

Hati yang suci dan pikiran yang bersih, merupakan cerminan bagi Sang ILLAHI. Hanya dalam hati yang suci dan pikiran yang bersihlah QALAM Illahi akan dapt terukir dan terekam dengan sejelas-jelasnya. Dalam keadaan seperti itu segala kehendak-Nya akan dapat terbaca dan didengar jika kita telah melepaskan Terompah kita yang berupa “ Pengosongan HATI dan PIKIRAN “ agar Firman, sabda atau wahyu Tuhan yang disampaikan kepada kita.

Fana dalam penyatuan DIRI dengan Allah itu hanya berhasrat kepada-Nya, tidak perduli lagi dengan gemerlap dan keindahan duniawi dan akhirat. Pada tahapan ini seorang pejalan spiritual ( rohani ) akan melepaskan “ KESADARANNYA “ terhadap keadaan Fana. Ia akan melepaskan KETERIKATANNYA dengan Fana. Yang pada akhirnya terbebaskan dari tingkatan dan maqam Fana menuju pencapaian keadaan “ PENIADAAN atas KETIADAAN “ yang ADA hanyalah DIA Yang Maha Mutlaq, Dial ah Tuhan Al Haq. Fana dalam kehampaan, dan tiada lagi suatu apapun yang berdiri tegak disamping-Nya, yang ADA hanyalah Wajah Yang Maha Suci dan tiada lagi yang KEKAL ABADI selain Wajahnya Yang Maha Mulia dalam balutan Wujud Dzat-NYA.

2 komentar:

ado mengatakan...

sayang ya om, kebanyakan manusia ini terpaku pada kebendaan. jarang yang mau melihat hakikat kemanusiaan yg hakiki. semoga kita selalu dalam jalan keridhoan Allah SWT.

Unknown mengatakan...

Sarujuk pakde. Berarti sebelum memulai perjalanan sesungguhnya, bersihkan dulu hati atau istilahnya: meluruskan niat. Konon, Quran sebagai pedoman hidup juga hanya bisa "terbaca" oleh orang-orang yang bersih hatinya. Setelah itu barulah menjalar ke nalar, yaitu penyucian akal supaya cahaya yang kekal juga memancar di situ...

Mengacu pada kisah yang Anda sarikan tadi, berarti sebelum bisa "sujud" sepasang "terompah" tadi mesti "dilepas" ya? Hmmm....