Herucoroko Sangkan Paran

Ungkapan yang sangat umum menggambarkan pandangan hidup orang Jawa adalah " SANGKAN PARANING DUMADI " (dari mana dan mau ke mana kita). Bagi orang Jawa hidup di dunia ini harus memahami dari mana ' asal , akan ke mana 'tujuan' dan 'akhir' perjalanan hidupnya dengan benar kassampuraning dumadi (kesempurnaan tujuan hakikat) dianggap " WIKAN SANGKAN ING PARAN ". Masyarakat Jawa mengartikan kata 'Jawa' bermakna 'mengerti' atau paham. Oleh karena itu, di dalam keseharian sering terdengar masyarakat Jawa melontarkan ungkapan seperti: 'durung jawa' (belum paham), 'wis jawa' (sudah paham), atau 'wis ora jawa' (berubah sombong atau atau buruk karena menjadi kaya -OKB- menjadi punya jabatan, menjadi punya pangkat, dll).

05 November 2007

IBADAH KEPADA SANG KHALIQ


Jika kita mendengan kata “ ibadah “ maka yang tertangkap oleh pikiran kita adalah sebuah tindakan ritual formal agama. Kalau ada seseorang yang tidak melaksanakan ritual formal secepat kilat orang akan menilai bahwa orang itu tidak “ beribadah “. Jangan heran kalau jaman sekarang ini trelah menjamur formalitas dalam kehidupan. Kita takut difonis kafir, murtad maka, rajinlah kita pergi berbondong-bondong menuju sebuah tempat ibadah hanya untuk melaksanakan perintah. Baik itu perintah yang bersumber dari Hadis ataupu teks book Kitab Suci. Tetapi kezaliman dalam bentuk perbuatan keji dan mungkar, korupsi, kolusi dan saling curiga terhadap orang/agama lain tetap berlenggang kangkung alias jalan terus. Atmosfir yang berkembang belakangan di negeri ini, telah mengisyaratkan bahwa dalam menganut sebuah agama ( kepercayaan ), suatu kelompok/golongan tertentu dengan jumlah umat yang besar mencoba memaksakan kehendaknya kepada yang lain dengan mengutamakan “ KESATUAN “ dari pada “ PERSATUAN “. Adanya indikasi pergeseran perilaku untuk memaksakan “ KESERAGAMAN “ daripada “ KEBERAGAMAN “ dalam menjalankan agama atau kepercayaan kelompok/golongan telah menguatkan pendapat dan pemahaman saya pribadi selama ini, bahwa bangsa ini dalam menjalankan “ IBADAH dan BERAGAMA “ perlahan tapi pasti telah menjadi suatu kelompok/golongan masyarakat yang “ HEDONISME “ alias MEMPERTURUTKAN HAWA NAFSUNYA , ketimbang mengedepankan SIKAP saling mengormati dan saling menghargai antar sesama pemeluk agama ( kepercayaan ). Akibatnya bisa kita lihat sadar atau tidak, mau jujur atau tidak kegiatan ritual agama hanyalah merupakan kegiatan FORMALITAS dan SEREMONIAL yang KOSONG dari MAKNA…

Bukan “ Inti saripati “ Ibadah yang subur, melainkan sebuah
“ Ibadah Upacara …!!”.

Ibadah Shalat

Shalat berfungsi untuk manghasilkan zikir ( ingat ) kepada Tuhan. Bila kita sudah bisa berzikir, maka setiap langkah perbuatan kita pasti didahului oleh zikir kepada Tuhan agar kita dapat melangkah dan bertindak dengan benar dalam hidup ini. Setiap selesai berbuat atau melakukan sesuatu kita lantunkan zikir memuji kepada-Nya seperti ungkapan hati Alkhamdulillah. Jadi, setiap perbuatan atau tindakan selalu diawali dan diakhiri dengan zikir. Hal ini dimaksudkan agar langkah kita tetap berada jalan yang lurus yaitu jalan kebenaran. Shalat itu sendiri mempunyai tujuan untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar jika pelaksanaannya betul-betul membuahkan hasil yaitu dalam setiap perbuatannya selalu mengingat Tuhan. Seseorang dikatakan terbebas dari perbuatan dan tindakan keji bila ia sudah tidak lagi melakukan perbuatan memalukan.

Tidak lagi melakukan perbuatan menjijikkan. Ia bebas dari perbuatan dan tindakan mungkar bila ia tidak melakukan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku. Adanya perintah yang bunyinya demikian “ sholatlah kalian seperti sholat yang Aku lakukan ( contohkan ) “. Secara kasad mata sangat mudah sekali kita meniru-niru gerakan sholat yang dilakukan Nabi, karena anak kecil saja akan mudah menirunya, namun apakah kita tahu apa yang bersembunyi dibalik “ Aku “ nya Nabi yang sesungguhnya....?. Kita melakukan ibadah sholat karena meniru Nabi secara FISIK mulai dari gerakan-garakannya dan bacaan-bacaan sholat tapi ESENSI dari ibadah sholat yang sesungguhnya “ untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar “ menjadi BIAS dan KABUR. Karena perilaku peniruan yang dilakukan bersifat “ kuantitas “ bukan peneladanan yang “ berkualitas “.

Hal Inilah terkadang malahan kita abaikan dalam setiap melaksanakan ibadah shalat substansi atau esensi daripada shalat sendiri menjadi sering hilang dari ingatan dan tujuan kita. Ibadah shalat yang kita lakukan hanyalah sebuah RITUAL keagamaan yang sasaran utamanya adalah akarena adanya iming-iming “ PAHALA dan jaminan tiket untuk MASUK SURGA “ bagi yang melaksanakannya. Jika kita mau mencoba menelisik secara mendasar tentang shalat, sebenarnya terkandung suatu makna yang memposisikan diri kita sangatlah kecil, kotor dan penuh kesalahan, maka pada awal mula didahului dengan “ Takbir “ yang secara implisit mengandung kesadaran diri adanya “ PERNYATAAN dan IKRAR “ bahwa Tuhanlah yang Maha Besar dan Maha segala-galanya sementara kita-kita ini hanyalah makhluk ( hamba ) yang sangat kecil dan tiada berdaya. Pada pertengahan shalat ada kesadaran untuk PASRAH, kita memasrahkan diri kita kepada sang Khaliq dengan ungkapan bahwa, Inna Shalati, wa nusuki, wa mahyaya, wa mamati lillahi robbil alamin “. Kepasrahan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah adanya bentuk aksi dan tindakan melakukan perbuatan dalam wujud karya nyata, jadi kita memang dituntut untuk AKTIF dalam segala bidang mengisi kehidupan ini yang kesemuanya hanya karena Tuhan semesta alam, bukan kepasrahan dalam bentuk PASIF yang hanya semata-mata menjalankan perintah shalat hanya untuk keinginan dan kepentingan pribadi kita berupa harapan untuk mendapatkan PAHALA dan SURGA nantinya.

Jika demikian yang kita pahami, rendah betul kwalitas kita sebagai manusia yang telah mendapatkan amanah sebagai “ KAHALIFAH “ di muka bumi ini. Andai saja kita menyadari akan peran kita sebagai Khalifah di bumi ini. Apa sih tugas dan funsinya….?. Mari kita renungkan bersama-sama kalimat pada akhir shalat ditutup dengan sebuah perintah “ Keselamatan, Rahmad dan Berkah “ untuk siapakah sebenarnya perintah salam ini…??. Untuk diri kita pribadikah atau untuk orang lain…??. Jelas sekali bahwa perintah tersebut adalah untuk kedua-duanya. Kita manusia dituntut untuk menjadi bagian dari alam semesta ini yang merupakan hubungan sebuah “ EKOSISTEM “ bahwa antara yang satu dengan yang lainnya harus saling MENGUNTUNGKAN ( memelihara ) dan jangan sampai saling MERUGIKAN ( merusak ).

Ibadah shalat, ternyata menyadarkan kepada kita untuk menjadi bagian dari alam ini untuk saling MELAYANI satu sama lain. Jadi PENETRASI dari ibadah shalat sebenarnya adalah merupakan “ PESAN MORAL dalam bentuk PENGORBANAN “ yang tertuang ada pada akhir shalat yah…SALAM itu sendiri yang harus dilakukan oleh manusia untuk memberikan KESELAMATAN, RAHMAD dan BERKAH kepada sesama makhluk ciptaan-Nya.
Kebanyakan dari kita dalam mengerjakan ibadah shalat karena TIDAK LEBIH dari hal-hal sebagai berikut :

1. Karena perintah Kitab Suci, inilah yang dinamakan IBADAHNYA BUDAK.

2. Karena mengharapkan PAHAlA dan SURGA, inilah yang dinamakan IBADAH DAGANG.

3. Karena ketakutan masuk NERAKA, inilah yang dinamakan IBADAH KETAKUTAN.

Yang pada akhirnya kegiatan ritual keagamaan ( ibadah shalat ) yang kita laksanakan hanyalah berupa kegiatan rutinitas, formalitas dan seremonial yang wujudnya “ kosong dari makna “.

Ibadah Puasa

Puasa merupakan upaya untuk mengekang segala keinginan kita yang tak terkendali, baik yang melalui fisik maupun psikis. Tidak makan dan minum serta bersetubuh dalam waktu tertentu dimaksudkan untuk mengendalikan keinginan kita yang berlebihan. Dalam puasa hati kita harus dibersihkan dari berbagai kotoran batin seperti kekesalan, kekecewaan, dendam, iri hati, kebencian dan segala ucapan yang sia-sia. Puasa juga berfungsi untuk meredam segala keinginan yang bersifat “ batiniah “.Kembali pada masalah PUASA, hakikat puasa adalah KEJUJURAN dari si pelaku puasa itu sendiri. Tulus tampa pamrih adalah wujud kejujuran seseorang. Orang yang jujur adalah orang yang BERANI MEMBUKA TOPENG dirinya sendiri, orang yang berani MAWAS diri, bukan sekedar memperelok diri tetapi BERANI MELIHAT segala KEKOTORAN yang melekat di HATINYA.

Tujuan puasa adalah “ menjadi orang yang BERTAQWA. Orang yang senantiasa menjaga dirinya pada jalan yang benar. Orang yang senantiasa mengawasi dirinya sendiri. Orang yang berani membuka kedoknya sendiri. Orang yang mampu mengendalikan EGONYA.

Puasa adalah sarana untuk menahan HAWA NAFSU. Hasil puasa yang benar adalah menjalani kehidupan dengan tenang, tidak emosional. Dalam pengetian puasa tercakup juga upaya-upaya untuk menahan hawa nafsu dalam hidup sehari-hari. Usaha untuk mewujudkan perilaku yang MAKRUF dalam kehidupan.

Jadi prinsipnya Puasa itu sangat baik bila mana dilakukan dengan TULUS. IKHLAS dan dengan penuh KEPASRAHAN. Apapun namanya tidaklah menjadi penting. Mau dinamakan puasa Romadhan, puasa senin kamis, puasa nabi Daud, puasa mutih sekalipun bila tujuannya adalah untuk PERBAIKAN DIRI kenapa tidak…?. Puasa dengan tujuan mengendalikan emosi dan hawa nafsu, jika diumpamakan laut, deru ombak mereda. Airnya tenang dan jernih. Ika yang berseliweran di dalamnya tampak jelas. Hati dan pikiran yang tenang bisa membuat DOA yang dipanjatkan TERKOSENTRASI. Kata-kata yang ada dalam kalimat TERESAPI. Daya dari pengucapan doa bangkit dan doa menjadi nyata, maka datanglah rezeki dari arah yang tak disangka-sangka.

Jadi tolok ukur puasa adalah bukan pada pelaksanaan puasanya melainkan bagaimana hasil dari LAKU puasa itu sendiri.

Ibadah Zakat

Zakat pun dimaksudkan untuk menghilangkan sifat kekikiran. Dengan berzakat, pikiran kita dilatih untuk memperhatikan kepentingan dan kebutuhan orang lain. Dengan berzakat, kita dilatih untuk mengurangi keinginan kita dan menolong orang lain yang berada dalam kepapaan. Tentu saja, zakat di alam modern ini haruslah dikelola secara profesional hingga dihasilkan manfaat yang lebih besar. Zakat jangan hanya dipahami sebagai bentuk pengeluaran atas sebagian harta kekayaan yang kita miliki selama satu tahun telah sampai pada batas nisabnya. He..he..sangat lucu sekali jika kita masih memahaminya demikian, kita memberikan pajak uang kok harus menunggu satu tahun lagi. Lalu bagaimana dengan saudara-saudara kita yang kelihatan dimata kita sedang kelaparan dan kesusahan…??. Menolong orang untuk bisa mendapatkan pekerjaan, menolong orang yang lagi mengalami kekurangan, mengajak orang untuk bekerja disawah, di lading kita, lalu mereka-mereka mendapatkan bagian hasil dari jerih payahnya, inilah yang dinamakan ZAKAT…!!. Jika kita mau betul-betul menghayati adanya perintah ZAKAT dalam teks book Kitab Suci, besaran ukuran prosentase sebesar 2,5 % dari harta yang kita miliki, yah jelas-jelas tidak ada dalam teks book Kitab Suci. Model prosentase ZAKAT yang dikenalkan dan dipraktekkan oleh Nabi dengan tujuan untuk memberikan solusi perekonomian yang disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kultur budaya di Timur Tengah pada saat itu.
Sebagai contoh kecil saja di Negara kita ini, para petani yang nota bene selalu dalam posisi serba sulit dan susah diakal-akali oleh tengkulak harus dikenakan pajak 5 % yang lebih berat dari pada jasa perdagangan yang hanya 2,5 %. Padahal faktanya 2,5 % akan serasa kecil sekali bagi mereka-mereka yang berprofesi sebagai Konsultan, Dokter, Pariwisata, Infotainment semacam raja “ LAP TOP “ si Tukul Arwana atau para artis-artis di negeri ini. Bahkan bila kita melihat adanya system pajak sekarang ini, potongan pajak dari hasil kerja ( gaji ) mulai sebesar 10 % hingga 30 %, maka makna ZAKAT pada kondisi sekarang ini menjadi KEDALUWARSA kan…??.

He..he..pasti anda akan bertanya, lah, PAJAK dan ZAKAT kan beda…??. Lantas apa juga bedanya Sedekah, Infaq dan ZAKAT…??. Hemm..hemm.. itu kan hanya SIMBOL-SIMBOL hanya masalah cara dan aturannya saja yang bikin beda….lagian itu semua kan hasil AKAL-AKALAN PIKIRAN manusia, padahal intinya sama-sama mengeluarkan uang, PENGORBANAN materi…untuk membantu sesama..!!. Dan, seharusnya tanpa ada lagi ikatan apapun dalam pelaksanaannya.

Namun kenyataannya sekarang ini, banyak tempat-tempat ibadah yang secara tidak sadar sudah membuat BIAS dan KABUR dalam mengelola ZAKAT yang telah diberikan pemberi ZAKAT dengan aturan-aturan dan POLA-POLA tertentu, misalkan saja dalam bentuk SIMPAN PINJAM dari hasil uang zakat yang sudah terkumpul MILYARAN rupiah dalam bentuk SALDO.

Padahal semestinya uang tersebut haruslah tersalurkan langsung pada yang berhak untuk menerimanya, baik itu kepada anak yatim piatu, para fakir miskin maupun kaum du’afa bisa dalam bentuk biaya pendidikan, modal usaha ( bukan pinjaman ) bagi yang masih produktif dan bentuk bantuan langsung berupa sandang pangan bagi yang sudah tidak lagi produktif.

Zakat merupakan wujud karya nyata manusia dalam pengabdian kepada Tuhan semesta alam, yaitu mengabdi dalam artian melayani Tuhan…!!. Melayani Tuhan itu wujudnya yah…harus melayani sesama makhluk dengan bentuk pengorbanan MORIL dan MATERIIL tanpa PAMRIH lagi…!!. Yah, semata-mata karena mengharap ridho sang Illahi Robbi dan merupakan kosekwensi logis sebagai Wakil-NYA di bumi ini.

Ibadah haji

Berhaji ke Mekah pun dimaksudkan untuk menjadi manusia yang hidup “ sosialistik dan egaliter “, hidup setara dan sederajad terhadap sesama. Dengan berhaji kita dilatih untuk membangkitkan rasa solidaritas dengan orang-orang fakir dan miskin. Kita dilatih untuk menghargai kehidupan, mengupayakan perdamaian dan menjauhkan diri dari pertikaian. Haji merupakan olah spiritual untuk mencapai kayakinan hidup yang hak, yaitu berani dan sanggup mati dalam kebenaran, serta sabar dan ikhlas menjalani hidup di dunia ini. Apa artinya berani dan sanggup mati dalam kebenaran...?. Ialah keberanian dan sanggup memilih jalan yang benar. Berani dan sanggup untuk hidup “ bersahaja dan bersih “ dari segala perbuatan yang tercela dan mungkar. Hati bebas dari kedengkian, dendam, kikir, dan tamak. Untuk membebaskan hati dan pikiran dari kotoran, diperlukan kesabaran. Sabar memiliki makna adanya daya juang dan tidak mudah menyerah dalam upaya mencapai tujuan. Dengan kata lain tegar dalam perjuangan hidup yang benar. Dlam kesabaran terdapat usaha untuk menjaga keharmonisan hidup yang benar. Tidak mau menang sendiri dan tidak mau menyerobot hak orang lain. Mempertahan dan memperjuangkan hak hidup tanpa harus mengorbankan orang lain.

Dalam ibadah haji, semua bentuk usaha menciptakan keberanian dan kesanggupan untuk mati serta sabar, diwujudkan dalam simbol-simbol pada pelaksanaan haji tersebut. Kesanggupan hidup bersahaja dilambangkan dengan memakai baju “ Ihram “ yang sangat sederhana, yaitu pakaian putih tanpa jahitan. Ihtiar manusia untuk mempertahankan hak hidupnya dilambangkan dengan “ SA’I “ berjalan kaki dan lari kecil bagi laki-laki ( jalan cepat bagi kaum perempuan ) bolak-balik sampai 7 kali dari bukit “ Shafa “ ke bukit “ Marwah “. Tujuan manusia mencapai titik spiritual dalam kehidupan ini dilambangkan dengan “ Thawaf “, mengelilingi Ka’bah dari arah kanan ke kiri sebanyak 7 kali. Upaya untuk menjaga keharmonisan alam dilambangkan dengan adanya “ Larangan “ dalam masa ihram yang berupa larangan menebang pohon, mempermainkan atau membunuh binatang, memotong kuku, melakukan hubungan suami isteri atau becumbu sekalipun, berbicara kotor, bertengkar dan mencaci maki. Tujuan haji adalah “ IKHLAS “ dalam setiap berbuat dan bertindak.Hidup ikhlas adalah hidup yang tidak terkontaminasi nafsu baik itu berupa berebut kekuasaan, harta dan kelezatan hidup di dunia.

Oleh karena itu haji dinyatakan sebagai sarana penyempurnaan keislaman seseorang dan hanya orang-orang yang mampu saja yang diwajibkan melaksanakannya.

Jadi apa yang disebut sebagai “ rukun Islam “ sebenarnya merupakan sarana untuk melatih diri untuk tetap berjalan lurus dengan dasar lillahi ta’ala dan agar selalu mengingat Tuhan ( shalat ), mengendalikan keinginan mengumbar syahwat dan pengendalian diri dari sifat ketamakan dan kerakusan ( puasa ), berani berkorban materi untuk membantu orang lain ( zakat ) serta menerapkan hidup apa adanya juhud dan fakir dengan hidup berharta benda namun tidak merasa memiliki ( haji ).

Namun bila ibadah-ibadah tersebut hanya ditunaikan untuk memenuhi
“ formalitas “ belaka dan hanya untuk “ kebanggaan “, maka hal tersebut hanya akan berakibat menjauhkan diri
kita dari kebenaran.
Bukan
“ keselamatan, berkah dan rahmat “ bagi kepentingan bersama yang dihasilkan, melainkan sebuah PETAKA yang tidak kunjung berhenti.
Bukan “ Haq “ yang didekati, melainkan
kebatilan hati yang mempengaruhi sang akal pikiran kita.

Salam

Kariyan dari Padepokan Borneo Timur

Tidak ada komentar: