Herucoroko Sangkan Paran

Ungkapan yang sangat umum menggambarkan pandangan hidup orang Jawa adalah " SANGKAN PARANING DUMADI " (dari mana dan mau ke mana kita). Bagi orang Jawa hidup di dunia ini harus memahami dari mana ' asal , akan ke mana 'tujuan' dan 'akhir' perjalanan hidupnya dengan benar kassampuraning dumadi (kesempurnaan tujuan hakikat) dianggap " WIKAN SANGKAN ING PARAN ". Masyarakat Jawa mengartikan kata 'Jawa' bermakna 'mengerti' atau paham. Oleh karena itu, di dalam keseharian sering terdengar masyarakat Jawa melontarkan ungkapan seperti: 'durung jawa' (belum paham), 'wis jawa' (sudah paham), atau 'wis ora jawa' (berubah sombong atau atau buruk karena menjadi kaya -OKB- menjadi punya jabatan, menjadi punya pangkat, dll).

25 Oktober 2007

AGAMA dan PENCARIAN KEBENARAN


Belakangan ini sering terlihat berita-berita atau kejadian yang rada-rada memancing naiknya adrenalin luapan emosi ”kebencian”, khususnya bagi kita-kita yang beragama dengan label formal tertentu, karena berita atau kejadian tersebut sangat kental sekali nuansanya telah didominasi oleh ”ego dan emosionalnya ” sehingga nuansanya menjadi subyektif ketimbang dominasi ”nurani ” dan penuh ”provokasi” berusaha mencari "keburukan" dan menanamkan kebencian kepada orang lain ( bangsa dan agama lain ) dan bahkan didalam lingkup agama itu sendiri. Kalaulah bisa mungkin saya sebut begitu.

Saya selaku pemeluk agama dengan nama Islam ( turunan dan KTP ) - secara formilnya begitu sih...??, namun berusaha untuk meraih Islam yang sesungguhnya walau kenyataannya saya masih belum dikategorikan sebagai manusia yang ”ISLAM SEJATI atau MUSLIM SEJATI ” - pada mulanya cukup gerah juga sih...setiap kali membaca postingan yang dapat dibilang cukup nyeleneh (rada berbau SARA ), namun akhirnya saya dapat memaklumi kenapa postingan seperti itu bisa ada hari ini, besok, lusa atau mungkin selama-lamanya. So what gitu loh...

Secara definisi agama yang saya jiplak ( dari Wikipedia saya kutip sebagai berikut ) : Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta yaitu "a" yang berarti tidak dan "gama" yang berarti kacau. Secara entomologis, agama berarti situasi yang tidak kacau. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin dan berasal dari kata kerja "re-ligare" yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang akan berusaha mengikat kembali dirinya kepada Tuhan.

Kalau boleh saya berpendapat bahwa agama itu suatu tuntunan hidup dalam peradaban manusia sebagai hamba dari Tuhannya. Hal itu bisa saja berupa ” Kepercayaan ataupun Keyakinan ” dengan tujuan agar manusia tetap berjalan dalam KEBAIKAN dan KEBAJIKAN.
Dari mana tuntunan itu diperoleh? Dari orang-orang yang berusaha mendapatkan hubungan dengan Tuhannya hingga mendapatkan petunjuk yang diyakininya sebagai jalan menuju kebenaran, yaitu jalan menjuju Tuhan. Merekalah para nabi atau rasul (atau mungkin ada istilah lain untuk menyebutkan orang-orang semacam ini).

Para penyampai agama ( petunjuk ) ini semula tidak memasang "merk" suatu komunitas atau kelompok tertentu yang membedakan mereka dari orang lain. Mereka hanya menyampaikan suatu ajaran dan para pengikutnya yang kemudian hari setelah jumlahnya menjadi banyak membentuk kelompok tertentu yang populer akhirnya dengan sebutan agama A, agama B, Yayasan X atau Yayasan Z, dlsb yang pada dasarnya adalah SIMBOL-SIMBOL semata.

Tuntunan yang disampaikan oleh para pembawa agama ( petunjuk ) semuanya membawa kepada KEBAIKAN dan KEBAJIKAN, namun karena perbedaan ” label formalitas ” dan dalam kegiatan ” ritual ” serta visi pemahaman agama dan adanya berbagai macam kepentingan kelompok dan golonganlah yang membuat para pengikutnya ditambah oleh hasutan iblislah yang menjadikan "bertentangan" , dan menganggap mereka yang tidak seagama, tidak sejalan, tidak seiman, tidak sealiran, disebut "kafir" yang harus dimusuhi dan kalau bisa diberangus dari muka bumi ini. Sehingga esensi dari agama itu sendiri menjadi ” bias, kabur ” dan terlupakan inti sari patinya, karena disibukkan dengan usaha menonjolkan kebenaran kelompok dan golongan tentang konsep pemahaman masing-masing guna menarik pengikut sebanyak-banyaknya tanpa memperdulikan tujuan inti saripati semula dari agama tersebut yang nota bene ” kebenarannya ” masih sangat relatif atau mungkin malah tidak pasti kebenaran dan kenyataannya....!!!.

`Pertikaian pemahaman dan keyakinan rasanya sudah lama terjadi ketika awal mula didengungkan penyebarannya, bukan hanya terjadi antar kelompok pemeluk agama, tetapi di dalam kelompok pemeluk agama itu sendiri juga terjadi perpecahan, keributan yang tak jarang sampai terjadi pertumpahan darah.

Apakah yang menjadi penyebabnya....???? ya .... sama .... dari awal mula adanya label formalitas agama hingga kini, karena berebut predikat status ” KLAIM KEBENARAN ” merasa diri dan kelompoknyalah yang paling benar.....!!!!.

He..he...manusia ( kelompok ) yang demikian ini sesungguhnya telah menjadi korban akibat ” ketidak tepatan ” dalam mengkonsumsi dan memahami makna sebuah AGAMA, makna AJARAN dan makna sebuah teks book Kitab Suci yang terlanjur dipercayainya melebihi kepercayaannya terhadap adanya Tuhan itu sendiri. Secara tidak sengaja dan tak sadar kita telah TERJEREMBAB JATUH pada suatu kehidupan dengan POLA PENGKULTUSAN....!! bahwa AGAMA, SYARIAT, THAREQAT, HAKEKAT dan MAKRIFAT serta teks book Kitab Suci bahkan seorang Guru Pembimbingpun ( Mursyid ) telah kita JADIKAN TUHAN.....!!.

Lho...lho...masak ada manusia jadi korban teks book sebuah Kitab Suci...???. Sampeyan yang bener aja bung....!!.

Kondisi semacam inilah secara tak sadar menunjukkan bahwa kita-kita sebenarnya masih belum ” beragama ” tetapi baru saja mengenal sebuah agama.

Jika kita betul-betul mau mencoba ” metani, menggeledah dan instropeksi DIRI ” akan kedangkalan kita dalam banyak hal, rasanya dengan banyak mengembara menelusuri kisi-kisi kehidupan di alam raya ini, ternyata ayat-ayat Tuhan emang sudah TERHAMPAR memenuhi jagad raya dan kita tinggal memungutinya sesuai dengan kemampuan dan keperluan kita tentunya. Faktanya memang kita telah menjadi komunitas manusia beragama secara label formalitas yang dalam beraksi dan bertindak tidaklah lebih dari sekedar sekumpulan manusia yang ” memperturutkan hawa nafsu ” manusia hedonisme yang hidup penuh dengan mimpi-mimpi di alam khayali....!!!.

Seharusnya, sedari saat ini lebih baik kita menggali kembali esensi dari agama yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul, agar kita dapat menemukan kebenaran sejati, tanpa sibuk memburuk-burukan orang lain, bangsa lain dan lagian apa sih untungnya buat kita dengan memfonis agama lain sebagai agama yang SESAT dan KAFIR...???. Bukankah Tuhan sudah mengingatkan kepada manusia untuk ” TIDAK SALING MENGOLOK-OLOK THD SUATU KAUM...???”. yang pada akhirnya malah akan menjerumuskan kita pada kebencian dan permusuhan antara sesama makhluk ciptaan Tuhan.
He..he kita ndak sadar kan bahwa ini maunya iblis...???.

Beribadah secara sungguh-sungguh pasrah dan ikhlas semata-mata hanya mengharap RIDHLO-Nya, serta jalanilah tuntunan kebenaran yang masing-masing diyakini akan membawa cahaya kedamaian bagi semesta alam dan segala isinya.

Tak perduli apakah namanya Islam, Katholik, Protestan, Budha, Hindu, jika anda meyakini kebenarannya maka jalanilah....!!! dengan sungguh-sungguh, bukan hanya sebagai pelengkap identitas dalam KTP atau hanya sekedar pelengkap dan ciri lahiriah yang ditampak-tampakkan religius, melainkan benar-benar untuk mendapatkan tuntunan hidup dan jalan yang lurus ( ihdinas siratal mustaqim ) di dunia ini.

Ingatlah perjuangan dan pengorbanan para penyampai agama. Perjuangan Nabi Musa mendapatkan firman Tuhan, Kerelaan Yesus menjadi penebus dosa untuk ummatnya ( bagi pemeluk yang meyakininya ), Pengasingan Nabi Muhammad di Gua Hira, Pengorbanan Sang Budha dan lainnya. Mereka adalah orang-orang SPIRITUAL luar biasa yang berjuang mengorbankan dirinya guna meraih tuntunan jalan yang lurus dari Tuhan demi umat manusia yang TERPANGGIL untuk mengikutinya.

Sekarang jalan itu bagi kita para generasi penerusnya sudah banyak tersedia.

Kita tinggal memilih mana yang cocok untuk kita yakini, atau tidak sama sekali, atau bahkan menjadi temannya Iblis yang amat senang dengan kehancuran bagi umat manusia dan alam seperti yang dikhawatirkan para malaikat ketika Tuhan hendak menjadikan ” Khalifah ” di muka bumi ini yang keberadaannya hanyalah akan membuat ” kerusakan dan pertumpahan darah ”.

Mari kita sama-sama mewujudkan dunia yang penuh damai, dengan beragama, berkepercayaan dan berkeyakinan secara sungguh-sungguh. Landasannya adalah marilah kita sama-sama untuk menjadi MANUSIA SEJATI yang JUJUR pada DIRI SENDIRI dan MENJADI DIRI SENDIRI........!!. Jangan berhenti hanya sebatas dengan APA KATANYA, kata Kiayinya, kata Ustadnya, kata Gurunya, kata Kitab Sucinya, kata Hadisnya...toh tetep saja ujung-ujungnya HANYA kita SENDIRILAH yang memiliki otoritas untuk MENTAFSIRKAN dan MEMAHAMI dari segala apa yang DIKATAKANNYA dan apa yang DIAJARKANNYA...!! hanya DIRI KITA SENDIRI.....!!! maka JADILAH DIRI SENDIRI...karena dengan menjadi diri sendiri rasanya kita akan MENGENAL DIRI..dengan mengenal DIRI, maka tidak mustahil kita akan MENGENAL TUHAN sang Pencipta Langit dan Bumi. Karena sesungguhnya TUHAN sudah ada dalam DIRI-KU...DIRI-MU dan DIRI-KITA....!! yang dalam khazanah Jawa disebut dengan " LORO-LORONING SATUNGGAL "

( berbilang namun hakekatnya adalah SATU ) . Satu yang telah DIGULUNG menjadi satu KEBERADAAN dan KENYATAAN dalam KEHENINGAN, KEHAMPAAN, KOSONG...tanpa huruf, tanpa abjad, tanpa kata-kata dan tanpa LAFDZ sekalipun...!!.

Semoga Tuhan memberkati kita semua dan tetap memberikan kekuatan dan kemampuan dalam menerima setiap kehendak-NYA ... Amiin.

Salam

Kariyan
dari Padepokan Borneo Timur
WWW.karyakariyan.blogspot.com

23 Oktober 2007

MADZAB DAN HADIS sumber KONFLIK?

Sebelum saya mengomentari tentang berbagai hadist-hadist yang selama ini dipakai umat Islam sebagai bahan rujukan dalam menjalankan berbagai ritual keagamaan dalam kalangan umat Islam di belahan jagad raya ini yang dalam perkembangannya ternyata telah banyak menimbulkan “ polemik dan konflik “ antar sesama pemeluk agama dengan nama Islam atau antara umat Islam dengan pemeluk agama dengan nama yang selain Islam. Kenyataan seperti ini mengisyaratkan bahwa Agama yang sesungguhnya merupakan “ pedoman dan tuntunan “ hidup bagi umat manusia untuk menuju keselamatan alam beserta isinya menjadi suatu pemahaman “ dogma “ semata.

Seyogjanya kita perlu sama-sama kembali melongok ke belakang, dalam sejarah perkembangannya Islam telah mengalami berbagai peperangan antar mazhab dan ini merupakan wujud nyata bentuk-bentuk dari

“ perusakan Alam beserta isinya “ akibat dari pada sikap “ ujub “ dan adanya

“ klaim kebenaran “ dari para ulama dan tokoh-tokoh agama yang sesuai dengan mazhabnya. Kita bisa lihat sejarah terjadinya “ perang sekterian “ yang liar dan dasyat yang telah memakan korban yang sangat besar, pertumpahan darah dimana-mana, nyawa manusia seakan tak berarti lagi hanya karena perselisihan pendapat dan pemahaman. Perang ini terjadi akibat adanya perbedaan pendapat antara pengikut mazhab “ Hanafiyyah dan Syafiyyah “ di kota Naisyapur. Kita bisa renungkan dan ambil hikmahnya bersama, padahal mereka adalah nota bene sama-sama mengaku sebagai pemeluk agama dengan nama Islam. Sesama orang Islam saja bisa menghalalkan darahnya hanya karena beda pendapat, ini akibat sikap dan perilaku “ ashabiyyah “ membangga-banggakan golongan atau kelompok keagamaan dan keyakinan yang dianutnya.

Jika salah satu kelompok merasa yang paling benar dan yang lain dianggap salah, maka akan ada dua kemungkinan yang terjadi. Tidak akan terjadi peperangan fisik jika mereka sama-sama mampu menahan diri. Atau akan terjadi serangan fisik terhadap yang dianggap salah. Yang demikian kita bisa lihat dalam negeri kita ya...di indonesia ini, kelompok nama Agama tertentu bisa dengan mudah memperdaya suatu kelompok nama Agama lain. Atau bahkan dalam satu kelompok nama Agama yang samapun sering kita lihat saling baku tumbuk dan adu jotos hanya karena adanya “ klaim kebenaran “ dari paham atau pendapat yang dianutnya, mereka merasa paling benar, suci dan merasa berhak untuk menghakimi mereka-mereka yang dianggap salah atau tersesat dalam menjalankan keyakinannya.

Kelompok yang merasa paling benar ini lupa bahwa kebanggaan terhadap pandangan, pendapatnya itu sebenarnya menuruti “ ego “ dan hawa nafsu. Jadi yang ditempuh oleh orang-orang yang “ ujub “ adalah jalan kebatilan...!.

Yang akibatnya bisa kita lihat bersama ( dalam tayangan TV ) suatu kelompok keagamaan dengan tampilan lahiriah yang tampak religius namun dalam penerapan, aplikasi dan tindakannya dalam kehidupan, rumah-rumah mereka yang dianggap sesat ini dirusak, dihancurkan, dibumi hanguskan. Manusianya diuber-uber seperti maling ayam, digebukin sampai berdarah-darah dan anehnya merekapun sambil menyerukan Asma Tuhan. Sungguh merupakan kejadian yang sangat bertolak belakang dengan apa yang dipelajari dan agama yang dianutnya selama ini. Boleh-boleh saja kalau mereka mengaku sebagai umat yang beragama dan bibirnya mengucap Asma Tuhan, tetapi kenyataannya tindakan yang dilakukan sama sekali tidak mencerminkan “ af’al Tuhan “ ( perbuatan Tuhan ) yang Rahman dan Rahim.

Mohon maaf kalau saya harus mengatakan bahwa, “ ujub “ inilah yang banyak menghinggapi para ( oknum ) tokoh-tokoh dan pemuka agama. Dengan ujub ini jugalah bisa mencerai-beraikan rumah tangga, bangsa dan negara. Bila salah satu pihak berlaku ujub, maka ada pihak-pihak lain yang direndahkan atau dianggap sepele. Otoritas atau wewenang orang lain diambil alih, karena pemilik kewenangan itu dianggapnya tidak berdaya. Bahkan secara tak sadar otoritas Tuhanpun diambilnya dengan dalih dan kemasan yang dibungkus dengan nama Agama. Apalagi dengan teriakan-teriakan menyebut Asma Tuhan, mereka begitu cekatan dan gesitnya meneriakkan Asma Tuhan, namun perilakunya sama sekali tidak mencerminkan “ kelembutan Tuhan “. Padahal kalau ditanya mereka juga katanya berpegang pada sebuah Kitab Suci dan Hadis lho....?.

Rasa-rasanya menjadi orang yang beragama dengan nama Islam itu memang amat mudah...!. Semudah kita membalik telapak tangan. Cukup dengan mengucapkan syahadat melalui bibir dihadapan saksi, maka kita seolah-olah sudah menjadi muslim sejati. Atau bahkan bila kita terlahir dalam keluarga yang beragama dengan nama Islam, sejak lahirpun kita telah dinyatakan sebagai muslim. Sehingga faktanya memang kebanyakan agama dengan nama Islam yang kita anut ini tak lebih dari pada faktor “ turunan “keluarga dan lingkungan.

Sebagai contoh ndak usah jauh-jauh,... ya seperti saya ini.

Kebetulan Bapak dan Ibu serta kakak-kakak beragama dengan nama Islam, terus lingkungan sekitar rumah saya mayoritas masyarakatnya beragama dengan nama Islam juga, selanjutnya saya mulai belajar membaca Kitab Suci yang “berbahasa Arab”. Walaupun kenyataannya saya sama sekali TIDAK MENGERTI artinya/terjemahannya, saya juga tidak tahu isi kandungan ayat ayat tersebut. Selanjutnya saya belajar gerakan-gerakan sholat lengkap dengan bacaan-bacaannya, maka wajar, rasional dan logis kalau saja sekarang saya ber KTP Islam he...he...namun pertanyaannya adalah apakah saya telah menjadi seorang ISLAM SEJATI....? dan PASTI akan SELAMAT kehadapan Tuhan....?. BELUM TENTU kan....!!.

Tentunya pertanyaan saya pribadi ini hanya akan terjawab nanti ketika “ Maut datang meregang NYAWA “, apakah dalam diri saya termasuk kategori tingkatan “ Nafsul Mutmainnah atau tidak “.

Karena hanya JIWA yang TENANG saja yang akan kembali kepada Tuhan sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Fajr 27 – 30.

Orang Islam sejati adalah orang yang berjuang ( jihad, mujahadah ) untuk mencapai derajad ketaqwaan yang tinggi secara terus menerus dan konsisten dalam kehidupan ini yang tidak hanya menyebut-nyebut Asma Tuhan saja , tetapi tekanannya adalah pada “ aksi dan tindakan nyata “ dalam setiap perbuatan yang didasarkan pada niat “ lillah Billah “, sehingga pada saatnya ajal datang menjemput atau matipun diharapkan dalam “ keadaan Islam “.

Sebagaimana perintah Tuhan dalam QS. Al Imran. 102 disebutkan bahwa orang-orang yang beriman diperintah untuk bertaqwa dengan taqwa yang sebenar-benarnya. Dan ujung daripada ayat ini adalah “ Janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam ( muslim ) “. Kandungan ayat Ini menandaskan bahwa

“ taslim atau muslim “ adalah merupakan stasiun perjalanan “ spiritual ” yang amat tinggi dan memerlukan perjalanan panjang dalam prosesnya. Orang akan disebut

“ taslim atau muslim “ jika dalam tindakan kesehariannya adalah orang yang menerima “ qodrad dan irodah Tuhan “ dengan sepenuh hati yang didalamnya sudah meliputi kandungan sabar, ikhlas dan pasrah. Menjadi orang muslim itu sangat berat dan amat berat. Hanya sedikit saja orang yang sanggup menjadi orang muslim. Sebuah agama dengan label ( nama ) Islam saja tidak akan dapat bangkit dan ‘SANGGUP’ mensejahterakan Alam beserta isinya bila diantara para pemeluk AGAMA hanya sedikit sekali manusianya yang benar-benar “ MUSLIM “.

Sepertinya sudah lama terjadi “ ketidak tepatan pemahaman “ dalam perjalanan sejarah umat Islam. Banyak yang berpendapat dan mengatakan bahwa KEBENARAN HAQIKI adalah kebenaran yang bersumber dari pada “ Al Quran dan Hadist “ yang berupa literal dan teks tual....!.

Hal ini mengindikasikan seolah-olah kitab-kitab suci yang turun dibawa oleh Nabi-Nabi sebelumnya merupakan sebuah kitab yang SALAH walaupun pada kenyataannya kitab-kitab suci tersebut dibawa oleh para Nabi yang telah dikehendaki Tuhan guna menuntun umat manusia yang berada dalam kegelapan menuju terang benderang. Padahal dalam salah satu ayat telah dijelaskan bahwa “ awal mula agama diturunkan ke bumi ini ya SUDAH ISLAM “ yang fungsinya sebagai penuntun, petunjuk landasan dan pijakannya adalah Kitab Suci yang isinya memuat Aturan-aturan baik larangan, perintah dan petunjuk, hubungan manusia dengan manusia beserta alam ( khablum minannas ) juga hubungan manusia dengan Tuhan ( khablum Minallah ).

Jika kita memiliki pendapat dan pemahaman bahwa kebenaran yang Haq adalah sebuah Kitab Suci dan Hadist, maka secara tak sadar kita telah menurunkan derajad Tuhan menjadi sebuah kitab suci. Allah itu Maha hidup dan yang memberikan kehidupan pada makhluk-Nya. Tuhan itu Maha kuasa atas segala sesuatu. Padahal kitab suci ( teks book )itu hanyalah benda yang diam saja, KERING dan TERBATAS....!.

Jika demikian maka gugurlah relasi Tuhan dan hamba-Nya bila Tuhan hanya dipandang sebagai sebuah Kitab Suci. Lalu bagaimana dengan istilah “ mengikuti Rasul-Nya “. Dalam aplikasinya inipun dikerdilkan oleh kebanyakan umat Islam. Mengikuti Rasul-Nya disamakan dengan mengikuti Hadis Nabi yang adanya karena telah ditulis, dikisahkan oleh para “ perawi “ pada masa itu yang masih terikat pada ruang dan waktu. Kita bisa bayangkan, karena mentaati Tuhan dan Rasul-Nya DIPAHAMI sebagai tindakan yang kembali kepada Kitab Suci Al Quran dan Hadis Nabi, maka wajar saja kalau selama ini telah terjadi “ perang ayat dan perang mendaifkan hadis “.

Tidak tahukah kita......? bahwa Kitab Suci itu ‘apapun namanya’ adalah sebuah petunjuk, tuntunan dan penjelasan untuk menuntun kehidupan manusia kearah jalan yang “ BENAR dan LURUS “ sekaligus untuk membedakan antara yang “ Haq dan yang Batil “.

Kitab Suci adalah obat dan sekaligus Rahmat bagi orang yang ingin menggapai kebahagiaan “ spiritual “. Kitab Suci adalah salah satu wujud Kalimah atau Qalam Illahi. Jadi yang musti perlu kita garis bawahi adalah bahwa Al Quran/Kitab Suci itu BUKAN Tuhan dan Tuhan BUKANLAH sebuah Kitab Suci....!.

Demikian juga bahwa Rasul bukanlah Hadis.....!.

Rasul itu adalah utusan Tuhan. Dia adalah ZAT HIDUP yang menjadi penghubung antara Manusia yang berupa jasad kasar seperti kita ini dengan Tuhan yang Maha Hidup. Makanya dalam banyak ayat-ayat Kitab Suci kata Rasul-Nya TIDAK DIKAITKAN dengan jasad fisik ( jasmani ) Nabi Muhammad atau Nabi-Nabi yang terdahulu.

Kita bisa lihat dalam salah satu ayat QS. Ibrahim. 4.

“ Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya Ia dapat memberikan penjelasan dengan terang kepada mereka “........dst.

Terus mentaati atau mematuhi Rasul bukanlah mematuhi Hadis. Kalau ini yang kita lakukan, maka akan terjadi kepatuhan terhadap wujud jasad fisik seseorang atau imam yang telah mengajarkan Hadis. Ya...inilah namanya mematuhi orang lain atau mengikuti sangkaan pikiran, pendapat orang lain.

Mematuhi Rasul itu adalah mendengarkan dengan seksama suara hati kita, lalu kita wujudkan dan diaplikasikan dalam hidup ini baik melalui diri sendiri maupun melalui tangan orang lain.

Bila kita berbicara tentang Hadis, Hadis adalah merupakan pendapat seseorang yang didasarkan kepada perilaku dan perbuatan nabi yang terekam pada situasi dan kondisi tertentu, artinya masih terbatas dengan ruang dan waktu, situasi dan kondisi. Permasalahannya adalah apakah sebuah Hadis masih “ relevan “ untuk diterapkan pada zaman sekarang ini....?, kalau masih sah-sah saja kita menggunakannya. Namun bila Hadis tersebut sudah dianggap tidak sesuai lagi mengapa kita harus memaksakan....!.

Persoalan adanya Hadis yang dianggap “ sokheh “ yang disanadkan oleh orang-orang yang katanya jujur dan tak pernah berbohong, atau Hadis “ dhaif “ karena disanadkan oleh orang-orang yang pernah melakukan kesalahan itu semua karena adanya KESEPAKATAN atas dasar musyawarah mufakat yang didasarkan pada penilaian dari akal pikiran “ obyektif Rasional dan obyektif Logis “ yang sifatnya masih relatif dan bukan merupakan buah hasil dari pikiran yang OBYEKTIF SEJATI “.

Kita semua tahu dan sepaham bahwa perilaku seseorang itu dibatasi oleh lingkungan dan zamannya. Sebagai contoh kecil saja jika Nabi berpakaian gamis, maka sesungguhnya Abu Jahal dan abu lahab yang katanya kafirpun juga berpakaian gamis. Kenapa....? ya karena itulah pakaian dan tradisi orang arab. Jika nabi makannya tidak memakai sendok, maka orang-orang Arab lainnya pun demikian. Jika Nabi menggosok gigi memakai “ siwak “ , maka orang Arabpun demikian halnya. Tentu bukan wujud fisiknya yang ditiru sebagaimana yang kita lihat pada gaya sebagian orang di luar Arab sekarang ini. Adanya ayat yang berbunyi “ ikutilah Aku “ sebenarnya nuansanya menjadi bebas dari belenggu ruang dan waktu. Kalau mengikuti “Aku” dipahami mengikuti Nabi Muhammad secara fisikal, maka selesailah sudah perintah itu bagi kita yang tidak melihat Nabi, karena Nabi sudah tidak lagi hadir ditengah-tengah Umatnya.

Jadi Umat yang sekarang ini ya hanya meniru-niru, “katanya”. Ya kata Kiainya, Ulamanya, Gurunya. Mereka ( para tokoh agama ) tersebut pun tidak akan bisa melakukan klarifikasi atau “ tabayun ” terhadap sesuatu yang telah ditirunya secara turun temurun yang sifatnya “kolektif “. Mengapa....? karena tidak ada gambarnya Rasul dalam berbagai kesempatan dalam kehidupan kita sekarang ini. Yang kita terima hari ini hanyalah kisah-kisah beliau yang sifatnya “ ABSTRAK “. Kalau kita diberi tahu oleh seorang guru bagaimana Rasul itu makan, maka sebenarnya itu adalah “ ABSTRAKSI “ dari guru itu sendiri. Yang pada akhirnya yang kita tiru-tiru itu adalah perilaku fisik dan tindakan guru itu.

Lalu siapa sesungguhnya yang dimaksud dengan “ Aku “...?.

Ketika Nabi masih hadir ditengah-tengah umat, maka “ aku “ tersebut tampil pada diri Nabi Muhammad saw dan itu merupakan tampilan yang amat indah bagi orang Arab. Tetapi orang laki-laki di indonesia yang rata-rata tidak berbakat memiliki jenggot mencoba memaksakan diri memelihara jenggot hanya sekedar mengikuti “ sunnah Rasul “ katanya, hal ini sama saja dengan orang yang ingin menikmati kebahagiaan dengan cara kepura-puraan dan penuh kepalsuan.

Perintah untuk mengikuti “ Aku “ itu tetap berlangsung sampai sekarang ini walau jasad fisik Nabi telah dikubur dalam tanah.

Aku yang sebenarnya adalah merupakan pengejahwantahan, tajali Tuhan dalam diri jasad kasar Manusia yang telah dipilih-Nya. Jadi Aku yang sebenarnya adalah suara hati atau “ hati nurani “ yang ada dalam diri manusia.

Jika ayat dalam Kitab Suci telah menyebutkan “ siapa yang mengikuti Aku, maka Allah akan mencintainya “ . dengan memahami Aku sebagai petunjuk dan pelita yang ada di dalam hati, maka akan klop dengan permohonan “ ihdinas shirathal mustaqim “ . Jika seorang hamba benar-benar memohon kepada Tuhan untuk ditunjukkan kepada jalan yang lurus, maka jalan lurus itu akan TAMPAK NYATA dalam hati sanubarinya, nah bila hal itu secara terus menerus diikuti, maka janji Tuhan akan mencintai manusia jelas akan terwujud. Bukankah Tuhan TIDAK PERNAH INGKAR JANJI....?.

Taatilah Allah dan Rasul-Nya memang harus kita dudukkan sesuai porsinya. Ketika Nabi masih hadir ditengah-tengah umatnya, beliau memberikan

“ keteladanan “ secara kongkret tentang bagaimana taat kepada Tuhan. Taat kepada Tuhan dalam khasanah Jawa bisa diartikan sebagai sifat dan perilaku yang

“ Hamemayu Hayuning Bawono “ merawat Alam beserta isinya. Aksi dan tindakannya adalah “ Sepi ing pamrih rame ing gawe “ ( perbuatan yang dilakukan adalah atas dasar ikhlas tanpa pamrih ).

Ketika bumi yang kita pijak ini dirawat sebagaimana mestinya, maka secara otomatis bumi akan memberikan “ berkah “ bagi umat manusia. Dalam bahasa Arabnya yang tertuang dalam Kitab Suci, ya sama sekali manusia dituntut untuk tidak melakukan kerusakan di muka bumi, menegakkan kebenaran dan keadilan. Berani menjadi saksi tentang kebenaran dan menciptakan kasih sayang atau perdamaian dalam kehidupan bersama tanpa melihat, membedakan atribut yang melekat pada diri seseorang.

Mentaati Rasul-Nya berarti mentaati SUARA HATI NURANINYA dan menghidupkan KETELADANAN Rasul, bukan meniru-niru perilaku JASAD FISIK Nabi dalam bertindak......!. Adanya perintah yang bunyinya demikian “ sholatlah kalian seperti sholat yang Aku lakukan ( contohkan ) “. Secara kasad mata sangat mudah sekali kita meniru-niru gerakan sholat yang dilakukan Nabi, karena anak kecil saja akan mudah menirunya, namun apakah kita tahu apa yang bersembunyi dibalik “ Aku “ nya Nabi yang sesungguhnya....?.

Tapi rupa-rupanya kita ini sudah terlanjur hidup dalam suatu masyarakat dimana dalam menilai seseorang diukur dari sisi “ lahiriahnya “ saja, kita menjadi silau akan kulit luarnya sehingga tidak mampu lagi melihat isinya.

Kenapa demikian, karena penilaian kita didasari baru sebatas “ akal dan pikiran “ bukannya suara batin atau “ hati nurani “. Akhirnya secara tak sadar kita telah

“ terperangkap “ dalam kondisi wujud yang serba MATERI dan FISIK. Kita menghormati seseorang lebih karena Pangkat, Jabatan dan Predikat yang melekat dalam dirinya. Kita melakukan ibadah sholat karena meniru Nabi secara FISIK mulai dari gerakan-garakannya dan bacaan-bacaan sholat tapi ESENSI dari ibadah sholat yang sesungguhnya “ untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar “ menjadi BIAS dan KABUR. Kegiatan ritual keagamaan yang berupa rutinitas, formalitas dan seremonial yang wujudnya “ kosong dari makna “.

Akhirnya sebuah Hadis memang akan menjadi bermakna bila kita semua mampu menjadikannya sebagai “ reverensi “ bukannya sebagai tujuan dalam menjalankan ibadah dengan mengedepankan kecerdasan spiritual “ suara hati nurani dan batin yang jernih “. Tetapi sebuah Hadis akan sama sekali tidak bermakna apa-apa, bahkan akan menjadi “ polemik dan konflik “ sepanjang jaman, bila kita mengkonsumsinya masih mandeg dan bertahan dalam stasiun

“ Akal dan Pikiran “.

Mohon maaf atas kurang dan lebihnya, mudah-mudahan kita selalu diberikan “ kekuatan dan kemampuan “ dalam menerima setiap Kehendak-Nya. Amin.

Salam

Kariyan

Dari Padepokan Borneo Timur

19 Oktober 2007

ANTARA EGO, IBADAH DAN TUHAN

Dalam menjalani kehidupan ini sering kali kita merasakan bahwa yang kita lakukan itu sebenarnya keinginan dari pada Ego, tetapi dengan mudah kita berkilah dan berdalih bahwa yang kita lakukan adalah merupakan panggilan Tuhan. Sering kita meneriak-neriakkan nama Tuhan, kita katakan dengan lantang membela Tuhan, tetapi sebenarnya hanya karena desakan Ego. Tuhan itu kan Maha Besar dan Maha Perkasa dan tak terkalahkan, masa perlu dibela…?.


Yang perlu dibela dan dilindungi itu kan orang-orang yang lemah, baik lemah secara moril maupun meteriil.


Dengan enteng sekali kita menyebut-nyebut “Asma Allah “ padahal dalam menyebut itu kita tidak sadar bahwa itu semua karena dorongan hawa nafsu kita.
Karena masih terbesit pamrih kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan dan kelompok kita. Padahal sesungguhnya yang demikian itu karena Ego kita…!!!.

Masa ada sih orang menyebut nama Tuhan karena Ego…??. He..he..anyak sekali kejadian-kejadian semacam ini yang secara tak sadar, bahwa apa yang mereka lakukan adalah karena dorongan Egonya. Sering kali kan...? kita melihatnya di TV bagaimana para demonstran dengan wajah-wajah menyeramkan sambil berteriak-teriak menyebut nama Tuhan menghancurkan rumah-rumah, mengejar-ngejar seseorang dan memukulinya atau bahkan sampai membununhnya hanya karena orang-orang tersebut telah menjalankan keyakinan yang berbeda dengan mereka para pendemo. Betapa mudah memang orang memanggil “ Allah…Allah “, namun sikap yang ditampakkan berlawanan dengan kelembutan Allah sendiri. Tuhan yang pengasih dan penyayang. Bukankah Tuhan mendahulukan kasih sayangnya ketimbang murka-Nya..??.

Banyak juga orang yang tidak mengenal Allah tetapi dengan gesit menyebut nama-Nya namun hanya terhenti sebatas di bibir saja.

Yang akibatnya bisa kita lihat bersama suatu kelompok keagamaan dengan tampilan lahiriah yang ditampak-tampakkan religius bak sekumpulan manusia bergamis, bersurban namun sayang dalam penerapan, aplikasi dan tindakan serta perbuatannya dalam kehidupan sama sekali tidak mencerminkan adanya kedamaian, kenyamanan dan kesejahteraan bagi orang-orang di sekeliling mereka.

Kita bisa lihat bagaimana rumah-rumah mereka yang dianggap sesat ini dirusak, dihancurkan, dibumi hanguskan. Manusianya diuber-uber seperti maling ayam, digebukin sampai berdarah-darah dan anehnya merekapun sambil menyerukan Asma Tuhan “ Allahu Akbar….!”. Sungguh merupakan kejadian yang sangat bertolak belakang dengan apa yang dipelajari dan agama yang dianutnya selama ini. Boleh-boleh saja kalau mereka mengaku sebagai umat yang beragama dan bibirnya mengucap Asma Tuhan, tetapi kenyataannya tindakan yang dilakukan sama sekali tidak mencerminkan “ af’al Tuhan “( perbuatan Tuhan ) yang Rahman dan Rahim.

Ego inilah yang banyak menghinggapi manusia seperti kita-kita ini dalam menjalani kehidupan sebagai makhluk sosial masyarakat maupun dalam kehidupan beragama sekalipun. Dengan Ego ini jugalah bisa mencerai-beraikan rumah tangga, bangsa dan negara. Bila salah satu pihak berlaku Ego, maka ada pihak-pihak lain yang direndahkan atau dianggap sepele. Otoritas atau wewenang orang lain diambil alih, karena pemilik kewenangan itu dianggapnya tidak berdaya. Bahkan secara tak sadar otoritas Tuhanpun diambil alihnya dengan dalih dan kemasan yang dibungkus dengan nama Agama dan kelompok, golongan tertentu. Apalagi dengan teriakan-teriakan menyebut Asma Tuhan, mereka begitu cekatan dan gesitnya meneriakkan Asma Tuhan, namun perilakunya sama sekali tidak mencerminkan “ kelembutan Tuhan “. Padahal kalau ditanya mereka juga katanya berpegang pada sebuah Kitab Suci dan Hadis lho....?.

Tuhan adalah Zat yang “ Wujud “ dan pasti ada-Nya yang senantiasa membimbing manusia menuju kehidupan yang baik dan benar. Tuhan itu ar-Rahman dan ar-Rahim, yang Maha Pemurah dan Penyayang. Agama yang datang di bawa para Nabi memiliki misi untuk keselamatan dunia. Tentu saja termasuk juga untuk keselamatan manusianya. Tetapi jika kita mau berbicara jujur, kita tahu bahwa banyak orang-orang yang merasa terancam keselamatannya oleh sekelompok orang dalam agama yang dianutnya. Disetiap agama selalu saja ada sekelompok orang yang merasa memiliki otoritas dalam memaksakan agama. Alasannya, orang tidak boleh dipaksa untuk memeluk suatu agama, namun kalau sudah masuk harus dipaksa…!. Ini yang dinamakan orang sudah bersaing dengan Tuhan. Kejadian-kejadian yang seperti ini yang perlu untuk dicermati dan diluruskan agar dorongan Ego seseorang tidak disamakan dengan seruan Tuhan.

Orang yang sudah berperilaku baik, guyub, rukun, saling tolong-menolong, saling menghormati antar sesama manusia tidak boleh dikatakan kafir, musyrik, syirik, sesat dan mereka akan masuk “ neraka “ sebelum mereka menjalankan perintah syariat “ ABC “ dalam suatu agama. Berbagai pernyataan orang akan masuk “ surga atau neraka “ jelas bukanlah suatu “ kenyataan “….!. Itu semata-mata “ hipotesis “ belaka, sesuatu yang lahir dari buah pikiran murni dari manusia. Agama memang perlu diajarkan dengan benar sehingga akan lahir manusia-manusia berperilaku yang benar dan lurus. Tidak ada paksaan, baik untuk memeluk suatu agama maupun di dalamnya. Mengapa…? Karena agama itu diturunkan oleh Tuhan yang Maha Pemurah dan maha Penyayang.

Tuhan memberi apa yang diperlukan oleh manusia sebelum manusia memintanya. Rezeki juga telah diberikan kepada manusia memenuhi alam semesta ini dalam wujud yang bukan siap saji dan rezeki tersebut diberlakukan kepada siapa saja dan tidak berkaitan dengan kelompok, golongan atau agama tertentu yang disandang seseorang. Itu-lah Tuhan yang Maha Pemurah…!. Tuhan akan memberikan imbalan langsung bagi orang yang berbuat “ kebajikan “. Itu-lah Dia yang Maha Penyayang..!. Agama diturunkan sebagai wahana agar manusia bisa berada di jalan yang benar. Dalam sejarah kerasulan tak ada orang yang menerima otoritas dari Tuhan untuk memaksakan agama kepada orang lain. Bahkan para Nabi-nabi hanya diperintah oleh Tuhan untuk memberikan pelajaran bagi manusia yang berkenan dan siapa yang terpanggil dan bukan untuk menguasai orang lain…!. Menguasai orang lain itu jelas menyalahi kodrat Tuhan...!!.

Secara teori orang akan mengerti bahwa Tuhan itu Maha Esa. Tuhan yang menciptakan alam semesta berupa langit dan bumi beserta segala isinya. Tuhan memberi petunjuk kepada manusia melalui nabi, rasul, utusan, dan pemberi petunjuk ( had ). Bahkan pada setiap kaum, masyarakat selalu ada pemberi petunjuknya. Perlu kita ketahui bahwa tidak semua nabi mempunyai Kitab Suci, sudah berapa banyak nabi yang diturunkan ke bumi ini. Tetapi hanya ada beberapa Kitab Suci yang ada di bumi, padahal setiap kaum selalu ada ‘ had’-nya. Bahkan disetiap kurun waktu dalam suatu agama selalu ada orang yang memberi petunjuk. Orang yang “ merevitalisasi dan memikirkan kembali ajaran agamanya “. Sehingga agama itu tidak ditinggalkan oleh pemeluknya.

Meskipun Tuhan itu pasti ada-Nya, namun Dia tak terjangkau oleh indra, budi dan pikiran manusia. Tak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya “ Laysa kamislihi syaiun ”. Tuhan tak dapat digambarkan dalam wujud seperti apapun. Karena itu manusia cuman diberi “ wahyu “ agar bisa memberikan pelajaran atau petunjuk kepada orang lain. Ada wahyu yang bersifat “ kitabiyah “ seperti Taurat, Zabur, Weda, Tripitaka, Injil, Al Quran dan lain-lain. Ada wahyu yang bersifat “ kauniyah “ atau kebenaran tanda-tanda yang ada di alam raya ini. Sehingga orang akan mengerti bahwa bumi yang mengitari Matahari dan bukan sebaliknya ini merupakan kebenaran “ hukum Tuhan “. Juga ada wahyu yang diberikan kepada seseorang sehingga dia dapat mengerti tentang rahasia alam.

Orang yang telah menerima wahyu dari Tuhan apapun namanya akan membuat hidup orang tersebut menjadi santun dan berusaha selalu mengarahkan orang lain menuju kehidupan yang benar dan lurus. Ia tak akan memaksa….! Mengapa…? Karena fungsinya hanya memberikan peringatan, petunjuk dan kabar baik agar umat manusia tidak tersesat dalam hidupnya. Orang yang bisa berkomunikasi dengan Tuhan akan dapat “ mewujudkan “ akhlak Tuhan.

“ Berbudi pekertilah kamu seperti budi pekerti Tuhan, kata sebuah hadis “.

Lantas, apa gunanya Nabi akhir zaman , bila masih ada orang yang diberi wahyu…?. Bukankah Kitab Suci dan Hadis sudah mencukupi..?. Kitab Suci hanya memberikan “ tanda-tanda “, ayat-ayat yang mengikuti lisan, bahasa, budaya dan zaman bagi nabi-nabi yang menerima kitab-kitab suci. Esensi kitab suci itulah yang harus dapat dipahami kandungan yang “ tersirat “ dari yang tersurat oleh pembacanya. Adanya seseorang majikan yang boleh menggauli budaknya, kata sebuah Kitab Suci. Ini jangan ditafsirkan bahwa perbudakan harus dilanggengkan agar si majikan bisa menyalurkan syahwatnya kepada para budak-budaknya. Ayat tentang perbudakan itu harus ditafsirkan ulang dan kalau perlu di simpan dalam lemari, ketika kita hidup di alam yang bebas dari “ perbudakan “. Tak perlu ayat tersebut dihidup-hidupkan lagi….!.

Disinilah perlunya lahir seorang yang mendapatkan “ hikmat “ dari Tuhan, sehingga bisa menterjemahkan sebuah Kitab Suci dengan bijak dan penuh kearifan.

Kitab Suci harus betul-betul hidup ditengah-tengah masyarakat atau umat yang membacanya. Sehingga kitab suci itu dapat menjadi “ panduan “ bagi orang-orang yang membacanya agar dalam menjalani kehidupan ini, manusia tidak berperilaku dan bertindak “ merugikan dirinya sendiri “ apalagi merugikan orang lain.

Kongkretnya begini :

Dalam kasus pencurian misalnya, mana yang lebih penting dan bermanfaat menerapkan

“ hukum potong tangan “ pada si pencuri atau “ membangun keadilan ekonomi “ sehingga tak lahir pencuri-pencuri…?. Disinilah diperlukan “ hikmat “…! Agar sebuah Kitab Suci itu dapat diterjemahkan dan diterima umat dalam kehidupan nyata. Karena orang yang mendapatkan hikmat dari Tuhan, sesungguhnya dia telah menerima “ kebajikan “ dari Tuhan.

Orang yang mendapatkan hikmat dari Tuhan sesungguhnya telah menerima “ KHAIR “ kebajikan, kekayaan, kesejahteraan, keuntungan dan caritas. Mereka yang menerima hikmat Tuhan itu adalah para “ ulil Albab “ yaitu orang-orang yang AKAL dan BUDI PEKERTINYA telah dipimpin oleh Tuhan yang tentunya sama sekali hal ini tidak terpengaruh dengan Pangkat, Jabatan ataupun Predikat dan bahkan tidak terpengaruh dengan sebuah nama agama yang dianutnya. Karena sesungguhnya “ hikmat Tuhan “ itu berada di luar system nama Agama yang disandang oleh seseorang. Orang itu bisa berprofesi apa saja, bisa petani, tukang becak atau bahkan seorang pemulung ( pemungut ) sampah sekalipun. Orang yang menerima hikmat dari Tuhan tidak akan benci lagi kepada orang lain. Orang akan mendapatkan hikmat dari Tuhan , bila ia mencarinya di alam raya ini. Dan seseorang akan dapat memperoleh hikmat jika aksi, tindakan dan perbuatannya tidak berlaku zalim di muka bumi ini.

Karena Tuhan tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang berlaku zalim

Sebagaimana ada dalam sebuah Kitab Suci ( Qs.Al Baqarah: 258, Qs. Al Maidah. 51, Qs. Al An’aam, 144, Qs. Al Ahqaaf. 10, Qs. Ash-Shaff. 7 dan Qs. Al Jumu’ah. 5 ).

Nah, siapa yang dimaksudkan orang-orang yang berperilaku “ zalim “ itu…?. Orang dzalim tidak berkaitan dengan pemelukannya terhadap sebuah nama agama yang dianutnya. Ia berada di dalam atau berada di luar sistem agama. Ia bisa terjadi di dalam komunitas Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto dan lain-lainnya. Yang jelas orang zalim adalah orang yang dalam menjalankan kehidupannya telah merugikan orang lain ( langsung maupun tak langsung ).

Kalau di dalam Al Quran, seseorang dikatakan zalim jika :

Orang yang mau menang sendiri dan tidak bisa menerima argument orang lain. Orang yang hanya mau mengakui kebenaran golongan, kelompoknya sendiri dan menganggap golongan lain salah dan sesat karena tidak berpijak pada kebenaran yang ada di dalam sebuah teks book Kitab Suci tertentu ataupun hadis tertentu yang dianutnya.

Bentuk kezaliman itu ada yang tampak halus dan kasar. Kezaliman yang halus yaitu ketika seseorang menggunakan pembenaran atas dalil-dalil agama demi untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri dan kelompoknya. Disebut demi kelompok-kelompoknya, karena kelompok lain yang seagama juga mempunyai dasar dan pandangan serta pemahaman sendiri dalam menegakkan kebenaran agama.

Kalau saya boleh mengambil contoh dalam realitas di negeri kita ini yaitu masalah “ syariat “ agama. Jika kita tidak ingin terjerumus dalam perbuatan kezaliman, maka kita tidaklah perlu ‘ ngotot “ untuk memasukkan “ syariat “ ke dalam sebuah Undang-Undang. Mengapa…?? Karena sebenarnya syariat itu lahir dari adanya “ pendapat, pemikiran dan pandangan para ulama ( tokoh agama ) yang murni berasal dari akal-akalan pikiran manusia yang kebenarannya masih sangat relatif. Itulah sebabnya bentuk gerakan dalam ibadah ( shalat misalnya ) ada bermacam-macam menurut golongan dan madzabnyanya. Hal demikian bisa kita lihat di TV pada saat musim Haji bagaimana orang-orang yang lagi mengerjakan ibadah shalat, antara yang satu dengan yang lain bisa saja tidak sama gerakannya namun tak sampai menimbulkan pertentangan atau pertikaian.

Namun kenapa di negeri tercinta kita ini kenyataannya bisa lain...??. Kita bisa lihat bersama-sama lagi-lagi dalam tayangan TV, setiap menjelang puasa ramadhan selalu ada saja kelompok/golongan tertentu yang memaksakan orang lain ( agama lain ) supaya menghormati yang berpuasa. Adakah agama mengajarkan cara-cara demikian...???.

Kejadian lainnya adalah dalam menentukan hari raya Idul Fitri khususnya shalat Idul Fitri masih saja terlihat adanya golongan, kelompok agama tertentu dengan mudahnya saling

” mengklaim ” bahwa golongan atau kelompoknyalah yang paling benar dalam menentukan pelaksanaan hari Idul Fitri dengan berbagai alasan dan argumen yang sebenarnya adalah cerminan dari pada ” ego ” pribadi sebagai pimpinan golongan/kelompok. Jika kita telah menganggap kelompok, golongan kitalah yang paling benar. Konsekwensinya adalah kita akan beranggapan bahwa mereka-mereka yang tidak segolongan dengan kita sudah PASTI SALAH.....!!. Secara tidak sadar kita telah menggunakan selendang dan pakaian Tuhan. Kita telah memakai ” hak Tuhan ” yang pada akhirnya kita telah menjadi Tuhan-Tuhan tandingan di Alam semesta ini karena ego kita pribadi....!!!!.

Ini baru salah satu wujud syariat saja, sudah berbeda-beda. Padahal syariat agama itu banyak sekali…!!. Kita ambil contoh nyata dalam kehidupan ini, adanya pemahaman yang dianut oleh golongan NU misalnya, Ketika Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden RI melakukan “ ziarah kubur “ dengan mengunjungi makam-makam orang yang dianggapnya shaleh, ada tokoh agama, tokoh masyarakat yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Gus Dur itu perbuatan “ syirik dan musyrik “. Padahal bagi kalangan umat NU, pergi ziarah kubur itu merupakan hal yang biasa dilakukan dari generasi ke generasi dan bahkan dikategorikan sebagai ibadah “ sunnah “. Nah…, ini baru masalah ziarah kubur saja sudah menimbulkan perbedaan pendapat yang bisa mengarah pada terjadinya konflik berdarah. Karena itu, pendapat suatu golongan, kelompok yang berkaitan dengan keyakinan seseorang dalam beragama “ tidak boleh “ dipaksakan penerimaannya kepada orang lain. Terlebih-lebih dipaksakan masuk melalui UU. Cara beragama yang dipaksakan adalah bentuk Ego manusia…!.

Jika agama sudah dikaitkan dengan politik dan kekuasaan, maka kehidupan agama sudah tidak lagi dapat menjadi “ jalan hidup dan jalan kedamaian “ yang bisa dilalui bagi para pemeluk-pemeluknya. Pihak yang menang dengan golongan, kelompok terbesar akan mengatakan aturan yang dipegangnya itu adalah benar. Pihak yang kalah akan dinyatakan salah. Agama bukan lagi menjadi “ jalan damai “ bagi siapa yang melaluinya, ia hanyalah sebuah “ dogma “. Dogma yang dipaksakan pelaksanaannya dalam kehidupan bermasyarakat.

Ternyata Ego lah yang memaksa orang untuk menjalankan kehidupan beragama dengan syariat-syariat tertentu. Dengan memaksa orang lain untuk sepaham dan sepihak dengan kita, berarti kita tidak bisa menerima cara yang ditempuh orang lain.

Cara dalam mengekspresikan agama, bukanlah “ kriminal atau pidana “ dan atau SALING MENYALAHKAN, MENGKAFIRKAN orang lain. Sepanjang ia hanyalah berupa ekspresi dan aktualisasi keagamaan tidak perlu dikaitkan dengan kekuasaan dan politik. Sepanjang ekspresi dan aktualisasi keagamaan itu tidak menimbulkan tindakan “ a-sosial, a-moral dan a-susila “ tidak perlu terjadi pelindasan, penindasan terhadapnya.

Menindas orang yang tidak sepaham dengan kita adalah “ wujud Ego “ dan sama sekali hal ini bukanlah merupakan seruan Tuhan….!.

Tuhan sangat mencintai perilaku “ kesalehan “, orang-orang yang berbuat baik terhadap sesama manusia yang biasa disebut “ iman dan saleh “. Tuhan sangat mencintai orang-orang yang mencintai tetangganya, menghormati tamunya dan tolong-menolong dalam kebajikan. Bersyukur, yaitu menciptakan nilai tambah dalam kehidupan ini, menciptakan kemudahan-kemudahan dalam kehidupan adalah merupakan “ manifestasi “ ketuhanan dalam diri manusia. Memelihara ketertiban dan kenyamanan bersama adalah wujud manusia “ taqwa “. Untuk hal-hal semacam ini, orang-orang yang mengaku beriman, sudah seharusnya terpanggil untuk membuat aturan dan Undang-Undang yang benar dan adil.

Lalu bagaimana dengan Ego…?. Ia lebih banyak mementingkan dirinya daripada kepentingan umum atau public. Kalau toh pandangannya itu kelihatan benar, tetapi lebih dimaksudkan untuk kepentingan golongan dan kelompoknya semata. Merasa paling benar dan menganggap orang lain salah dan sesat. Orang yang Ego lebih suka hidup dalam lingkungan “ homogen “ dari pada hidup dalam komunitas “ heterogen atau pluralitas “. Lebih senang menggunakan “ ayat-ayat “ sebuah teks book Kitab Siuci sebagai bentuk pembenaran pendapat dan kepentingannya ketimbang mencari solusi terhadap kenyataan yang ada. Ketika ada orang lain yang tidak seagama dengan kita yang telah membuktikan secara nyata akan kebenaran kandungan sebuah teks book Kitab Suci melalui penelitiannya, bahwa Bulan ternyata pernah terbelah atau Al Quran itu ternyata ada dalam diri manusia, langsung dengan bangga dan sombongnya kita mengatakan bahwa kebenaran itu sudah ada ayatnya dalam sebuah teks book Kitab Suci tertentu. Itulah contoh dan wujud Ego manusia….!!.

Dunia Ego memang harus ditaklukkan, karena Ego yang menguasai manusia ini sebenarnya bukan wujud yang kekal. Ia ada tanpa rupa, tetapi ia mampu memikat manusia yang hidup di dunia ini. Ia bagaikan angin yang berhembus semilir. Kadang ia datang pada diri manusia dengan kesejukan. Kadang ia juga datang dengan kegerahan. Perang yang selalu menghantui manusia juga merupakan wujud Ego. Perang yang paling besar adalah melawan Ego begitu kata sebuah Hadis. Ia datang dan pergi dalam dada manusia, tak pernah benar-benar keluar dan pergi dari dada manusia. Terkadang Ego menyelusup dalam pikiran. Lain kali ia mendorong perasaan. Baik yang turun dari pikiran maupun yang muncul dari perasaan, kedua-duanya berkutat di dalam dada dan membuat gelisah manusia.

Nah…, manusia haruslah bisa memisahkan budi yang tidak terpimpin dari Tuhan, Zat yang Maha Pelindung bagi hamba-Nya.

Jika manusia sudah mampu memisahkan wujud “ budi yang tidak terpimpin “, dengan Zat Tuhan, maka manusia akan dapat menerima jenis kehendak yang lain. Kehendak apakah itu…??. Yah…kehendak untuk mengendalikan dan mengekang Ego. Dengan cara melepaskan selubung-selubung Ego, seperti melepas anak panah yang tak diketahui lagi di mana busurnya.

Syariat, Thareqat, Hakikat dan Makrifat lenyap tanpa terpikirkan lagi, kesemuanya telah digulung menjadi “ satu keberadaan dan satu kenyataan “ dalam keheningan kisi-kisi QALBU sang DIRI. Pada saat itulah manusia akan mengetahui “ Jati Dirinya “. Manusia akan tahu tujuan hidup yang sebenarnya…!!.

Akhirnya akan menjadi manusia yang mendapat kewenangan untuk menentukan jalan kehidupannya sendiri. Manusia yang mampu menjalankan ibadah kepada Tuhan yang sebenar-benarnya dengan tidak penuh kepura-puraan dan kepalsuan….!.

Jika kita mendengar kata “ ibadah “, maka yang tertangkap oleh pikiran kita adalah bentuk tindakan ritual agama. Lalu, kalau ada orang yang tidak menjalankan ritual formal tersebut, kita akan katakan bahwa orang itu tidak “ beribadah “. Akibatnya, suburlah formalitas dalam kehidupan ini. Orang akan takut dicap atau dikatakan “ kafir “, maka rajinlah ia ketempat-tempat ibadah. Tetapi kezaliman dalam bentuk korupsi, manipulasi dan kong-kalikong, curiga terhadap orang lain yang tidak seide atau segolongan tetap langgeng dalam prakteknya. Orang lebih mementingkan perbedaan “ lahiriah “ daripada persatuan. Orang lebih suka terhadap “ keseragaman “ dari pada “ keberagaman “. Kalau ini yang terjadi, bukan ibadah yang subur tetapi merupakan bentuk ibadah upacara….!.

Manusia tidak bisa diseragamkan, karena masing-masing memiliki kadar dan batasannya sendiri-sendiri. Persatuan memang harus dibangun, tetapi bukan

“ kesatuan atau keseragaman “. Menyeragamkan orang-orang yang batasnya jauh berbeda akan menghancurkan “ tatanan kehidupan “ bagi masyarakat. Ini sama artinya kita telah menerima hal-hal yang bersifat “ Thaghut “ atau melampaui batas.

Sudah semestinya kita ini memandang bahwa semua agama diajarkan oleh para nabi-nabi berdasarkan “ realitas “, bukan atas dasar budi yang tidak terpimpin. Kita juga harus sadar bahwa ketika Nabi-nabi mengajarkan agama kepada manusia memang ( maaf mengambil istilah Jawa ) “ Bener dan Pener “. Benar karena agama diajarkan oleh para nabi diterima oleh beliau dari Tuhan. Pener karena agama diajarkan oleh beliau sendiri yang disesuaikan dengan kondisi, budaya, serta tingkat peradaban dan dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh masyarakat yang menerimanya pada masa itu. Agar agama itu tetap dianut masyarakatnya secara “ hanif “, lurus, makanya di dalam sebuah teks book Kitab Suci banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk “ berpikir, bertafakkur, bertadzabur, bertazakkur dan bernalar. Tujuannya apa…?. Supaya kita-kita ini dalam beribadah tidak memperturutkan “ hawa nafsu “ atau Ego. Mengikuti hawa nafsu, memperturutkan keinginan tanpa pikir, dapat menjatuhkan diri ke dalam dunia hampa yang penuh kegelapan. Karena itu dari segala jenis berhala yang paling berbahaya bagi manusia adalah “ mempertuhan hawa nafsu “ alias thaghut. Jangan sampai keimanan kita gugur gara-gara secara tak sadar kita telah ber Tuhan pada hawa nafsu kita sendiri…..!!.

Jelas, bahwa inti hidup manusia beragama adalah mengingkari bentuk “ thaghut “ yaitu menolak ber-Tuhan pada hawa nafsu. Sikap demikian yang seharusnya kita tampilkan, aplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Biarkan orang-orang bekerja diladangnya dengan tenang. Biarkan orang saling menolong sesuai kemampuannya dengan nyaman. Jangan ganggu orang yang melakukan ritual keagamaan berdasarkan keyakinan dan pemahamannya. Jangan paksa orang untuk menjalankan syariat yang dirasakan asing baginya. Sebab menjalankan syariat yang sama sekali tidak dimengerti, dipahami manfaatnya, ibarat orang yang berjalan tetapi tidak tahu kemana tujuannya. Hal ini sama saja beribadah dengan “ kepalsuan penuh kepura-puraan “ dan membohong diri sendiri.

Sudah semestinya dalam beribadah terlebih dahulu kita harus memahami makna “ iyya kana’budu “ hanya kepada Tuhan kami beribadah, betul-betul kita resapi, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dengan wujud dan karya nyata. Bukan hanya beribadah dalam konteks “ritualnya”, melainkan dengan aksi, tindakan dan perbuatan yang bisa dirasakan manfaatnya oleh sesama. Bagaimana bisa disebut ibadah hanya kepada Tuhan bila yang kita lakukan masih dalam bentuk ikut-ikutan atau apa katanya…?. Apakah bisa disebut ibadah kepada Tuhan jika yang kita lakukan karena ketakutan…?. Apakah bisa disebut ibadah kepada Tuhan jika yang kita lakukan karena mengharap pahala dan surga…?. Apalagi karena keterpaksaan mengikuti sebuah perintah hadis dan teks book Kitab Suci…!.

Seseorang yang telah mengerjakan ladangya dengan benar, lalu menanam benih ke dalam lubang sambil mengingat Tuhan Yang Mahakuasa, itu disebut ibadah. Seorang karyawan yang bekerja di Perusahaan dengan benar dan mengikuti segala aturan yang ada di dalamnya, itu juga bentuk dari pada ibadah. Jadi prinsipnya ibadah adalah bentuk-bentuk pengabdian yang nyata. Bukan berbuat atas dasar angan-angan, kalau yang demikian namanya kita beribadah dalam hayalan. Jika seseorang ingin kenyang ya harus makan, jika ingin punya uang ya harus bekerja. Kalau kita ingin “ ilaihi raji’un “ kembali kepada Tuhan ya harus tahu jalannya….!. Jalan itu telah dibuat oleh Tuhan di dalam diri kita.

Jadi kalau kita mau beribadah dengan benar, yah…sudah seharusnya kita cari dalam diri kita….! Karena Tuhan itu sudah ada dalam diri manusia dan tak perlu jauh-jauh manusia dalam mencari Tuhan-Nya…!!. Sebagaimana yang telah tersirat dalam suratan Kitab Suci (QS. Al Hadid. 4) yang terjemahannya demikian :

“ ................Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan “.

Atmosfir yang berkembang dalam komunitas agama, ibadah baru dipahami hanya sebatas “menyembah” kepada Tuhan. Ibadat atau dalam bahasa Arab berarti a-ba-da, yang memiliki arti jamak berupa melayani, menyembah, menghambakan diri, menundukkan diri, mencintai dan memuliakan.

Jika seseorang melayani Tuhan, maka Tuhan akan melayani orang. Bukankah hal ini juga telah tertulis dalam Kitab Suci QS. Al Baqaarah 152 dikatakan “ Berdzikirlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku berdzikir kepadamu “.

Lalu diayat yang lain QS. Al Baqaarah 156 “ Aku mengabulkan permohonan orang yang meminta kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi permintaan-Ku dan beriman kepada-Ku “.

Dan, apa kira-kira bentuk permintaan Tuhan itu…?. Ternyata di dalam Kitab Suci, manusia dilarang untuk berbuat zalim, merusak alam beserta isinya dan segala bentuk tindakan yang “ memperturutkan hawa nafsu “.

Disamping ada permintaan yang bersifat larangan, ada pula yang bersifat perintah. Dan, yang diperintah oleh Tuhan kepada manusia adalah seseorang harus berbuat baik dan adil terhadap sesama, menebarkan kasih sayang, membangun persaudaraan antara sesama dalam lintas agama, budaya dan bangsa. Seseorang juga disuruh untuk memberikan pertolongan dan perlindungan bagi yang lemah.

Permintaan ini harus dibarengi pula dengan keimanan kepada Tuhan. Yang mesti kita pahami, iman bukan hanya sekedar percaya dalam bentuk ucapan, kalau yang ini anak kecil saja pun bisa, tetapi iman merupakan perwujudan dari hati yang aman dan jiwa yang rela….!!. Aman dari apa…?. Tentu saja aman dari sifat-sifat kedengkian, hasud, dendam, kesombongan, iri hati, dan berbagai macam sifat negatif lainnya.

Dalam komunitas pendaki spiritual, untuk bisa beribadah guna mendapat bimbingan dari Tuhan, manusia harus bertahali, mengosongkan hati ( qalbu ) dari berbagai sifat negatif. Bertahali yaitu menghiasi qalbu dengan berbagai sifat positif. Nah bila hati ( qalbu ) manusia sudah aman dan tenang, maka akan bersemayamlah Tuhan di dalam hatinya. Bukankah langit, bumi dan segala isinya tak akan mampu menjangkau Tuhan…?. Tetapi hati orang mukminlah yang mampu menjadi tempat bersemayam-Nya Tuhan.

Makna ibadah yang lain adalah mengikatkan diri kepada Tuhan. Juga disebut dengan menundukkan diri kepada Tuhan. Dalam makna ini seseorang yang beribadah haruslah jauh dari segala pamrih terhadap sesamanya. Cara untuk menundukkan diri pun tidak bisa diprogram, dipola dan diatur oleh orang lain. Sama dengan orang yang mau makan, batas kenyang seseorang tidak dapat ditentukan oleh orang lain.

Mengikuti diri sendiri tidak sama dengan berperilaku semena-mena, semau gue, sak kepenak-e udele dhewe. Mengikuti diri sendiri itu terlahir dari “ pencarian makna “ hidup, bukan karena bentuk “ kefrustasian ” menjalani kehidupan. ( Kariyan - Okleq’s )

17 Oktober 2007

Pasrah, Mawas Diri dan Hawa Nafsu

Oleh : K a r y a n

Sudah menjadi kehendak alam agaknya, bahwa manusia hidupnya dipengaruhi dan dibimbing oleh rasa. Rasa menimbulkan kehendak dan kehendak melahirkan perbuatan. Jadi, setiap perbuatan adalah pelaksanaan dari kehendak yang akan menuruti dorongan rasa. Rasa ini halus sekali dan karenanya seringkali dipermainkan oleh nafsu. Sebenarnya, nafsu inilah yang menjadi pokok pangkal segala peristiwa. Karena nafsulah yang mendorong segala sesuatu dapat hidup dan berputar. Nafsu tadi, besar kecilnya tentu saja tergantung kepada ke-aku-an yang ada pada setiap diri manusia. Manusia yang terlalu memikirkan diri sendiri, dia bisa dibilang seorang hamba nafsu dan seringkali melakukan perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran.

Nafsu adalah pelengkap yang lahir bersama hidup itu sendiri. Oleh karenanya, nafsu tidak boleh dibunuh! Nafsu adalah pendorong hidup, pendorong segala, sehingga dapat berputar dan berjalan, sebagaimana mustinya, menurut hukum alam. Tanpa nafsu dunia ini akan sunyi dan sepi. Karena itu, akan keliru dan salah besar bila ada orang yang berusaha mencari kesempurnaan diri dengan jalan membunuh nafsu, yakni nafsunya sendiri. Sebenarnya, kesempurnaan diri akan terwujud bila orang sanggup dan mampu mengendalikan nafsunya sendiri.
Kalau saja boleh diibaratkan, tubuh manusia adalah sebuah kereta yang lengkap, maka nafsunya adalah 'kuda', yakni kuda yang dipasang di depan kereta. Si Kereta tidak akan begerak maju sendiri tanpa adanya tarikan dari kuda nafsu tadi. Dan karena kuda itu mempunyai nafsu yang binal, maka Si kereta hanya menuruti setiap gerak langkah dari kuda nafsu itu. Kalau 'kuda nafsu' tadi bergerak dan melangkah ke arah jalan yang benar dan lurus, maka Si kereta akan selamat. Sebaliknya, bila 'kuda nafsu' bergerak dan melangkah ke arah jalan yang keliru, akan hancurlah Si kereta. Sebenarnya, begitu pula yang akan terjadi pada diri manusia, seperti kuda binal dan kereta..

Keindahan yang ditemukan oleh nafsu yang bersembunyi di dalam pandang mata kita, tidak lain hanyalah kesenangan. Dan segala bentuk kesenangan merupakan permainan nafsu yang seringkali membosankan. Nafsu tak pernah mengenal batas, tak pernah mengenal kepuasan yang mutlak. Dan selalu meraih, serta menjangkau apa saja yang belum pernah dicengkeramnya. Oleh karena itu, kita cenderung mengagumi dan menikmati sesuatu yang baru kita dapatkan. Namun kalau sesuatu yang baru itu menjadi sesuatu yang lama, maka akan pudarlah keindahannya, sehingga kita tidak mampu lagi menikmatinya. Itulah sebabnya, mengapa 'orang kota' dapat menikmati alam pegunungan dan 'orang desa' sebaliknya. 'Orang kota' akan merasa bosan dengan keadaan di kota yang penuh kebisingan dan kemacetan. Demikian pula dengan 'orang desa' akan merasa bosan dengan keadaan di dusun yang sepi.

Baik orang kota maupun orang desa selalu mengejar apa yang belum pernah mereka miliki. Pengejaran ini memang menjadi sifat nafsu daya rendah dan pengejaran inilah sumber penyebab kesengsaraan. Kalau tidak tercapai apa yang dikejar, akan timbul perasaan kecewa dan selanjutnya duka menindih batin kita. Dan kalaupun tercapai apa yang dikejar, hanya sebentar saja nikmatnya, yang pada gilirannya timbul perasaan bosan atau kecewa, karena yang dicapai itu tidaklah seindah dengan apa yang dibayangkan semula.
Karena itu, orang bijaksana tidak akan mengejar sesuatu yang tidak dimilikinya dan tidak menginginkan sesuatu yang bukan menjadi miliknya. Kalau sudah begitu, dia akan menikmati segala yang dimilikinya sebagai yang terindah dan terbaik. Segala keindahan terletak di dalam keadaan batin kita sendiri, bukan terletak di luar badan. "Sepiring masakan termahal akan terasa hambar di mulut kalau batin kita sedang keruh," kata orang bijak. Sebaliknya, "Sebungkus nasi dengan kecap dan garam akan terasa nikmat di mulut kalau batin kita jernih." Hal-hal yang paling sederhana pun akan terasa nikmat bila batin kita dalam keadaan jernih dan batin yang jernih adalah suatu keadaan bukan hasil buatan pikiran.

Keadaan batin yang jernih timbul oleh kekuasaan Tuhan. Kita hanya dapat berihtiar/berusaha dengan landasan sikap menyerah dan pasrah dengan penuh keikhlasan dan ketawakkalan kepada Tuhan YME. Kalau sudah begitu, apapun yang terjadi pada diri kita, niscaya bisa kita terima dengan rasa syukur dan dengan penuh keyakinan bahwa semua itu sudah menjadi Kehendak-Nya. Sehingga kita tidak mabuk oleh keadaan yang kita anggap menyenangkan dan tidak mengeluh dengan keadaan yang tidak menyenangkan. Penyerahan total kepada Tuhan YME akan menimbulkan kewaspadaan dan kebijaksanaan, sehingga kita dapat melihat bahwa di dalam segala bentuk peristiwa di dunia ini terkandung kekuasaan Tuhan.
Mutu batin seseorang tidak terletak pada pakaiannya atau kedudukannya. Tetapi kita rupanya sudah terlanjur hidup dalam suatu masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan diukur dari lahiriahnya saja, misalnya dari pakaian, pangkat, kedudukan, predikat dan harta.
Bahkan Sikap dan kata-kata hanyalah merupakan pakaian belaka. Dan semua itu pemulasan lahir dan menjadi 'topeng yang palsu'.
Namun kita sudah terlanjur suka akan yang palsu, kita menghormati seseorang lebih karena harta, pangkat, kedudukan, predikat dan pakaian. Padahal, seorang penceramah agama belum tentu dia saleh, seorang pembesar belum tentu dia bijak, seorang hartawan belum tentu dia dermawan, bahkan seorang yang 'bermulut manis' pun belum tentu dia baik hati!.
Kita silau akan kulit luarnya, sehingga tak mampu lagi melihat isinya. Hal ini disebabkan karena batin kita sebagai penilai juga sudah bergelimang nafsu dan penilaian kita pun didasari oleh keuntungan diri kita sendiri. Yang menguntungkan kita lahir batin, itulah yang baik dan yang merugikan kita lahir batin itulah yang buruk! Kita semua tahu bahwa yang dinilai tinggi oleh manusia adalah pangkat, jabatan, kedudukan, predikat, harta, dan semua penampakan atau penampilan luar, maka kita pun berlomba lomba untuk mendapatkan semua itu. Kita memperebutkan kedudukan, jabatan, harta dan sebagainya. Karena dari semua itulah kita akan mendapatkan penghargaan dan penghormatan. Kita lupa, bahwa penghargaan dan penghormatan itu palsu belaka. Kita juga lupa, bahwa yang dihormati adalah pakaian kita, kedudukan kita, jabatan kita.
Yang pada akhirnya kita semua makin hari makin lelap dalam kemunafikan.

Kita seyogjanya bertanya kepada diri sendiri: apakah kita termasuk dalam kelompok munafik? Atau bila kita sadar dari 'kelelapan kemunafikan', terus menjadi penganut peradaban yang tidak beradab dan kemoralan yang tidak bermoral?
Pertanyaan selanjutnya, kalu kita sudah menyadari keadaan buruk ini, beranikah kita untuk keluar dari dunia kemunafikan ini?. Dan hidup baru sebagai manusia seutuhnya, yakni manusia yang patut disebut manusia, makhluk kekasih Tuhan yang berakal pikir, berakhlaq, bersusila, berbudi, bermoral dan berbakti kepada Sang Pencipta? Kesadaran seperti itu hanya dapat timbul bila kita mau dan berani untuk mawas diri dan bercermin, bukan hanya sekedar mematut-matut diri, memperlok diri, melainkan bercermin, menjenguk dan mengamati keadaan batin kita, pikiran kita, isi hati kita. Berani melihat segala kekotoran yang selama ini melekat pada batin kita....!
Kalau sudah begini, baru dapat diharapkan timbulnya kesadaran, dan kesadaran ini akan mendatangkan perasaan rendah diri di hadapan Tuhan. Pikiran tidak mungkin membersihkan kotoran ini, karena pikiran kita sudah bergelimang kotoran atau nafsu, sehingga apa pun yang dilakukan tentu mengandung pamrih kepentingan diri, demi keenakan dan kesenangan diri lahir maupun batin.

Kerendahan diri akan membuat kita pasrah, membuat kita menyerah total kepada Tuhan YME. Pasti Tuhan akan membimbing orang yang menyerah sebulatnya. Menyerah dengan kerendahan diri dan dengan perasaan takut dihadapan-Nya sebagaimana tertulis dalam QS.Al - A’raaf 205. Sehingga dalam penyerahan tadi, pikiran tidak ikut campur di dalamnya dan karenanya penyerahan itu mutlak dan tanpa pamrih, penuh dengan kerinduan dan cinta kasih kepada-Nya yang telah menyayangi dan mengasihi kita tanpa batas. Dari sini pula, akan timbul gerak hidup yang wajar, manusiawi, tidak palsu dan tidak munafik lagi.