Dibagian bumi manapun kita hidup, pastilah mendengar dan mengenal kata " benar dan salah " dalam bahasa setempat yang kita mengerti. Kita mengerti bahwa apa yang disebut "benar" bila kita mengikuti apa apa yang yang telah diterima dan disepakati oleh suatu kelompok atau masyarakat. Ketika manusia belum bisa menimbang dengan rasio atau akal pikirannya apa yang disebut kebenaran, maka kebenaran yang berkembang adalah " kebenaran mitologis ".
Agama yang mula mula muncul di dunia ini juga penuh dengan mitos....!.
Pada tahap mitos ini manusia tidak mau atau tidak berani MEMPERTANYAKAN hal-hal yang dianggap benar tapi tidak masuk akal. Karena mempertanyakan sesuatu yang dipegangi oleh masyarakat atau kelompok, sama dengan menggugat keabsahan kepercayaannya.
Untuk mamahami kata " benar dan salah " kita memerlukan perangkat penilaian dalam berpikir yakni "obyektif rasional, obyektif logis dan obyektif sejati ”.
Yang paling dasar untuk dipahami adalah kebenaran yang "obyektif rasional ”. Jika sesuatu tak dapat dibaca secara inderawi, maka hal itu tak bisa diverifikasi atau diuji kebenarannya oleh orang lain. sehingga penilaian yang ada bersifat tak obyektif melainkan subyektif. Agar sesuatu obyek dapat dapat dipahami oleh orang lain, maka diperlukan adanya pemahaman tentang ” kualitas dan kuantitas ” yang melekat pada obyek yang diamati. Misalnya tentang ciri, dan sifat , bentuk dan ukuran dari obyek yang diamati. Sehingga kebenaran yang diketahuinya bersifat obyektif rasional. Yah....inilah wujud kebenaran yang baru dalam tahap dasar dan juga bisa kita sebut sebagai
” KEBENARAN INDERAWI ”.
Dalam berpikir, semua obyek yang diingat atau diketahui dicari relasi dan hubungannya. Sebagai misal, ada tanaman dan pupuk. Kita tentunya ingin mengetahuinya apa sih hubungan tanaman dan pupuk. Binatang ternak tidak bakalan mengerti relasi obyek-obyek tersebut. Tetapi, manusia telah diberi oleh Tuhan adanya kemampuan ” Akal dan Pikiran ” untuk MEMAHAMI hubungan relasi antar obyek yang diamati.
Sekarang mari kita sama-sama perhatikan obyek-obyek yang berupa siang, malam, matahari, bintang dan rembulan. Ternyata semua itu berjalan sesuai dengan ” SISTEM ” dan beredar berdasarkan HUKUM Tuhan. Mengetahui sifat dan ciri masing-masing obyek semata, TIDAKLAH CUKUP untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari obyek-obyek tersebut bagi KEHIDUPAN manusia. Dalam hal ini, manusia harus menggunakan
” RASIONYA ”, AKAL PIKIRANNYA. Untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari obyek tersebut kita haruslah MEMAHAMI teori Matematika dan Kalkulus, meski pada perhitungan dan kalkulasi yang sederhana sekalipun.
Lalu, semua kita endapkan dan kita ambil sebagai pelajaran. Pelajaran itu sendiri datangnya dari Tuhan. Makanya, kita diperintahkan untuk menimba ” Ilmu dan Hikmah ” dari mana saja. Semua itu merupakan ayat-ayat atau tanda-tanda Allah. Dan, yang musti kita pahami adalah bahwa Ilmu yang diperoleh dari Tuhan itu BUKAN KEPUNYAAN orang yang kita anggap
” KAFIR, SESAT atau karena tidak seagama dengan kita.
Sesungguhnya semua Ilmu itu KEPUNYAAN Tuhan......!!! meski yang membukakan adalah orang-orang yang memiliki atribut atau label formalitas Agama yang berlainan dengan keyakinan kita.
Kebenaran tidak pernah lahir dari tindakan yang bersifat emosional.
Kebenaran juga tidak akan pernah lahir jika manusia masih melakukan AGRESI atau melakukan penyerangan ” beraksi, bertindak dan berbuat dalam menjalani kehidupan sebagai makhluk sosial yang hadir ditengah-tengah masyarakat. Kebenaran selalu lahir dari sikap kearifan sebagaimana kearifan yang digali oleh para nabi-Nabi. Sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad ” berkhalwat ” di Gua Hira sebelum beliau diangkat sebagai Nabi. Bila orang mau memahami kebenaran yang paling dasar ini, tak usah yang rumit dengan menggunakan sistem penalaran yang canggih, orang akan menyadari siapa dirinya, ” DIRI yang sebenar-benar DIRI ”......!.
Seseorang harus mengaktifkan semua indera yang dimilikinya baik itu berupa akal, pikiran, batin dan perasaan serta hati ( Qalbu ). Memang dalam menilai suatu obyek harus bebas dari perasaannya lebih dahulu. Harus rasional dan berpatokan pada hal-hal yang berupa sifat, ciri dan tolok ukur yang dapat dimengerti bersama. Dengan tolok ukur yang sama, tanpa adanya pemaksaan untuk menjadi sama yang terpenting adalah kita dapat hidup saling memahami dan saling pengertian.
Manusia harus dapat menghargai “ PERSATUAN bukan menitik beratkan kepada KESATUAN dan menjunjung tinggi KEBERAGAMAN bukan memaksakan untuk menjadi sebuah KESERAGAMAN “.......!!.
Jadi kunci agar kita bisa hidup bersatu adalah pertama-tama harus “ hidup obyektif rasional “. Dan perlu kita pahami bersama bahwa hidup obyektif rasional itu belum merupakan syarat bagi kehidupan Industri.
Untuk memiliki jiwa industri kita harus melangkah pada tahap kebenaran berikutnya yaitu “ obyektif logis “.
Rasanya dalam situasi dan kondisi tertentu yang namanya
“ percakapan, dialog dan tukar pendapat “ itu perlu dan penting. Sebagai contoh dinegara-negara berkembang, terutama di negara yang sudah maju para filosof yang muncul kepermukaan pasti Dia akan mengemukakan buah percakapan yang dituangkan dalam bentuk tulisan.
Sebagai misal si “X”, untuk mendapatkan gelar keilmuan pasti terlebih dahulu membuat karangan-karangan ( skripsi ) yang selanjutnya dipresentasikan didepan orang banyak. Sejauh mana si “X” tadi dapat mempertahankan buah karangan yang telah dibuat.
Selanjutnya apa yang disebut logis itu, sesuatu akan disebut logis bila alur ceritanya “ KONSISTEN, TERATUR dan SISTEMATIS “.
Orang yang berpikir obyektif logis biasanya mampu membedakan antara
“ fakta, citra dan realita “.
Pikiran yang obyektif logis telah membawa kepada sikap hanya ada satu kebenaran, satu kenyataan dan satu keberadaan dalam alam semesta ini yakni kebenaran “ HUKUM Tuhan “. Dengan demikian Tuhan bukan merupakan hasil dari pada angan-angan sang pikiran manusia, melainkan hasil dari pada perjuangan batin yang lurus lagi bening ( suci ).
Mencari kebenaran memerlukan proses “ Mujahadah/perjuangan “ yang amat panjang. Kita bisa lihat sejarah Nabi Musa ke Gunung Tursina sebelum menerima wahyu, Nabi Muhammad selama 13 tahun di Gua Hira’ melakukan “ Riyadah “. Hasilnya mereka semua telah menjadi sosok manusia yang obyektif rasional dan logis dan telah menemukan “ Al Haqq “. Mereka telah menemukan “ kebenaran “ yang hasilnya telah dibagi-bagikan kepada manusia di sekitarnya sampai kepada kita sekarang ini. Yang diajarkan adalah cara berpikir logis. Dari fakta-fakta tentang “ diri “ dan lingkungannya serta relasi yang terjadi antar obyek yang ada di Dunia ini, maka Dia mengajarkan dengan tegas bahwa hanya ada “ satu kebenaran “ atau
“ satu kenyataan “ yaitu Kebenaran dan Kenyataan hukum Tuhan Yang Maha Esa.
Sekarang sampai kepada pemahaman “ obyektif sejati “
Kita lihat dunia ini apa adanya, terlepas dari persepsi kita. Dalam bahasa filsafat kesejatian ini biasa disebut dengan “ Obyective Existence “.
Bebas dari pandangan siapapun. Batu ya seharusnya kita sebut Batu dan bukan kita sebut Kerikil. Gunung ya harus disebut Gunung bukan Bukit....!.
Dalam pemahaman obyektif sejati kita tak akan terjebak lagi oleh “ Angan-Angan “, atau Imajinasi, juga kita tidak akan terjebak oleh bahasa suatu Kaum ( Bangsa ). Yang terjadi, kebanyakan sekarang ini kita pada terjebak oleh bahasa suatu bangsa, maka secara tak sadar kita telah terpeleset dalam memahami “ kebenaran “.
Sebagai contoh yang umum terjadi, banyak orang yang beranggapan kalau berdoa harus dengan menggunakan bahasa Kitab Suci tertentu akan lebih
“ Afdol “. Bahkan dalam Ibadahpun kalau tidak dibaca dengan “ Tartil dan Tajuwit “ yang benar bisa salah arti dan tidak syah Ibadahnya seseorang.
Hal-hal semacam ini merupakan hasil akal-akalan pikiran manusia di bumi ini yang tidak berdasarkan “ kebenaran obyektif sejati “. Pernyataan semacam ini hanyalah hasil “ Rekayasa “ sang pikiran manusia dan bukan sebuah kenyataan. Hal ini seolah mengisyratkan bahwa Tuhan itu memiliki bahasa dan nama agama tertentu saja. Bahasa selain yang tertulis dalam sebuah Kitab Suci tertentupun ( Al Quran ) dikondisikan seolah tidak berlaku bagi Tuhan...
Atmosfir yang berkembang dalam peradaban umat manusia dalam menganut sebuah Agama yang telah diberikan label dengan nama tertentu, manusia mencoba MEMAKSAKAN DIRI untuk memasukkan “ Zat “ Tuhan kedalam kerangka pikirannya bahwa Tuhan seolah-olah hanya meridhloi “ nama sebuah Agama, kelompok, golongan atau keyakinan tertentu “ saja.
Harusnya kita memahami kebenaran yang benar. Sebuah Kitab Suci adalah Qalam yang diwahyukan Tuhan kepada para Nabi sesuai dengan bahasa suatu masyarakat ( kaum ) Yah...kebetulan saja Nabi Muhammad terlahir sebagai orang Arab, jadi Wahyu yang disampaikan oleh Muhammad pasti dengan menggunakan bahasa yang bisa dipahami oleh masyarakat atau suatu kaum yang ada dalam lingkungan Nabi saat itu, sebagaimana firman Tuhan dalam QS. Ibrahim 4.
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”.
Ketika Tuhan memberikan akal kepada manusia, untuk apa akal dianugerahkan kepada kita...? Ya untuk menjawab persoalan-persoalan nyata dalam hidup di dunia ini. Lha Agama atau “ din “ merupakan pedoman dan tuntunan bagi manusia untuk melangkah dengan landasan Kitab Suci. Kemana kita melangkah...? ya menuju “ keberadaan yang satu “ yaitu berjalan lurus / kebenaran menuju Tuhan Yang Maha Esa dengan sikap Pasrah, Ikhlas dan tanpa pamrih.
Hanya karena keterbatasan akal, wawasan dan ilmu serta ketidaktahuan manusia dalam MEMAHAMI menyebabkan kita hanya bermain “ teori “.
Namun sebuah teori itu penting untuk menjadi acuan dan landasan bertindak. Seperti kita akan mengoperasikan alat-alat dengan teknologi seperti sekarang ini, kita tidak akan bisa mengoperasikan sebuah Pesawat Televisi kalau tidak membaca “ manual booknya “ , kita tidak akan bisa mengemudikan kendaraan kalau tidak mengetahui aturan mainnya. Tetapi setelah kita bisa memahami teori dan teori tersebut telah menyatu sebagi persepsi jiwa kita maka, dengan sendirinya kapan kita harus merubah porseneling, kapan kita harus mengerem dan kapan kita harus tancap gas, secara otomatis tangan dan kaki akan bergerak tanpa perlu lagi melihat/membaca manual booksnya.
Ketika kita mandeg pada sebuah teori ( teks book ) dan berhenti pada stasiun sang akal dan pikiran, maka kita akan menemukan kehidupan yang penuh
“ Khayalan dan Ilusi “ yang penuh dengan kepura-puraan dan kepalsuan.
Dalam hidup ini sebuah konsep tentang Tuhan sangat diperlukan untuk melandasi langkah manusia. Tetapi, jika kita hanya berhenti pada konsep, teori, berpegang atau masih bergantung dengan “ APA KATANYA “ kata Gurunya, Kiyainya dan kata Hadis ataupun kata sebuah teks book Kitab Suci yang hanya sebatas kita pahami secara “ HARFIAH “ tanpa memahami MAKNA, ISI kandungan yang TERSIRAT dari “APA YANG DIKATAKANNYA” itu sama artinya kita telah Hidup di alam “ Khayali “.
Jika kita sama-sama berpikir obyektif sejati dan berani berkata jujur, kitapun bisa mengukur diri kita sendiri, apakah ibadah yang kita lakukan benar-benar murni atas perintah “sang pribadi” dari hati sanubari kita yang paling dalam....?? ataukah hanya karena kata dan pendapat orang atau bahkan karena perintah sebuah Kitab Suci dan perintah sebuah Hadis...??.
Jika kita beribadah karena mengharap pahala dan surga itu namanya ibadah “ dagang “....!!. Jika kita beribadah karena takut masuk neraka, itu sama artinya dengan ibadah “ ketakutan “....!!. Jika kita beribadah karena perintah sebuah Kitab Suci/Hadis, itu namanya ibadah “ keterpaksaan “...!!.
Inna sholati, wa nusuki, wa mahyaya, wa mamati, lillahi robbil alamin.
Jika kita mendengar kata “ ibadah “, maka yang tertangkap oleh pikiran kita adalah bentuk tindakan ritual agama. Lalu, kalau ada orang yang tidak menjalankan ritual formal tersebut, kita akan katakan bahwa orang itu tidak
“ beribadah “. Akibatnya, suburlah formalitas ritual agama dalam kehidupan ini. Orang akan takut dicap atau dikatakan “ kafir “, maka rajinlah ia ketempat- tempat ibadah.
Tuhan adalah “ Kebenaran, Kenyataan dan Keberadaan SEJATI “. Dia Al Haqq. Tuhan tak dapat dibohongi dengan dalil-dalil sebuah teks book Kitab Suci, Madzab dan Hadist apapun atau bahkan dengan nama sebuah Agama sekalipun. Itulah sebabnya setiap Nabi turun ke dunia selalu menyempurnakan “ Ajaran “ dari ajaran sebelumnya tanpa ada saling pertentangan, saling menyalahkan para pembawa risalah Qalam Illahi sebelumnya yang datangnya tanpa “ huruf, abjad, kalimat dan bahkan tanpa suara sekalipun “.
Dengan berpikir obyektif logis, rasional dan obyektif sejati, rasanya harapan dan dambaan semua manusia akan benar-benar menuai kedamaian, keharmonisan dan kesejahteraan di Bumi ini dan alampun akan memberikan berkah bagi makhluk yang bernaung di dalamnya bisa terwujud. Semoga....!.
2 komentar:
blog anda benar-benar hebat, salut untuk anda
"Karena mempertanyakan sesuatu yang dipegangi oleh masyarakat atau kelompok, sama dengan menggugat keabsahan kepercayaannya.." <--- kenapa sih kita harus percaya apa yg masyarakat percaya akan kebenarannya???
Posting Komentar