Herucoroko Sangkan Paran

Ungkapan yang sangat umum menggambarkan pandangan hidup orang Jawa adalah " SANGKAN PARANING DUMADI " (dari mana dan mau ke mana kita). Bagi orang Jawa hidup di dunia ini harus memahami dari mana ' asal , akan ke mana 'tujuan' dan 'akhir' perjalanan hidupnya dengan benar kassampuraning dumadi (kesempurnaan tujuan hakikat) dianggap " WIKAN SANGKAN ING PARAN ". Masyarakat Jawa mengartikan kata 'Jawa' bermakna 'mengerti' atau paham. Oleh karena itu, di dalam keseharian sering terdengar masyarakat Jawa melontarkan ungkapan seperti: 'durung jawa' (belum paham), 'wis jawa' (sudah paham), atau 'wis ora jawa' (berubah sombong atau atau buruk karena menjadi kaya -OKB- menjadi punya jabatan, menjadi punya pangkat, dll).

01 Oktober 2007

"Belajar Bijak"

Orang bijak membicarakan ide. Orang biasa membicarakan aktivitas. Orang kerdil membicarakan orang lain.


Dengan membaca kata-kata hikmah tersebut di atas kita tergelitik untuk bisa mengukur diri kita. Dalam kategori manakah dari ketiga jenis manusia itu diri kita ini berada? Apakah kita tergolong orang bijak, ataukah orang biasa, ataukah justru termasuk orang kerdil?


Dari kedalaman hati kecil yang tidak pernah berbohong, kita akan menjawab jujur bahwa kita sebenarnya masih tergolong jenis manusia yang ketiga. Hampir tidak pernah ada hari yang melintas di hadapan kita tanpa disapa dengan gunjing alias membicarakan kekurangan, keburukan, kelemahan atau kesalahan orang lain. Bergunjing telah menjadi kebiasaan manusia baik dalam forum resmi maupun cangkruan, dan kebiasaan ini merupakan kebiasaan orang-orang kerdil, dan sekaligus kebiasaan yang sangat dibenci oleh Tuhan. Dan yang termasuk dalam kebiasaan orang-orang kerdil ini adalah kecenderungan menilai, menyalahkan dan memojokkan perilaku orang lain.


Dengan kebiasaan dan kecenderungan ini, kita sebenarnya telah memproduksi virus-virus yang bertugas menghancurkan kreativitas dan memakan habis semua amal kebaiikan kita, bahkan meski kita telah menjadi ahli agama sekalipun. Sebab, bergunjing pada hakikatnya menyiratkan kesombongan yang sangat dibenci Tuhan. Dengan bergunjing kita—sadar atau tidak sadar—merasa lebih baik, lebih utama, lebih suci, atau lebih benar daripada orang lain; dan itu berarti bahwa kita telah mengenakan pakaian Tuhan, pakaian kesombongan. Dan Tuhan melalui lisan Rasul-Nya benar-benar telah menjanjikan kehinaan dunia dan akhirat bagi orang-orang yang mengenakan pakaian-Nya. Dalam kaca mata Islam, membicarakan atau menggunjing orang lain dipandang bukan saja kerdil, melainkan juga hina.
Sebagai orang-orang yang beragama kita tentu tidak menghendaki hal itu. Kita tentu lebih memilih kemuliaan dalam ridha Tuhan daripada kehinaan dalam murka Tuhan. Karena itu, meskipun berat dan sulit, sudah saatnya bagi kita untuk mulai bertekad, benar-benar bertekad, untuk terus-menerus belajar menjadi orang bijak, sedemikian rupa sehingga kita tidak lagi membicarakan orang lain, melainkan benar-benar hanya terfokus pada membicarakan ide-ide (luhur). Tentu saja, orang yang benar-benar bijak tidak hanya sekadar membicarakan ide-ide, melainkan juga sekaligus mempraktekkan atau mewujudkannya, melalui tangannya sendiri atau melalui tangan orang lain.


Bijak ('ârif) sebenarnya dapat dimaknai dengan "kemampuan mengenal diri sendiri dan mengenal (baca: memahami perasaan) orang lain". Dengan begitu, orang bijak mengenal tugas-tugas dan kewajibannya sebagai manusia dalam kerangka individu dan sekaligus dalam kerangka kelompok; ia juga mampu membedakan—dan benar-benar memisahkan dalam praktek—yang baik dari buruk, yang bermanfaat dari yang sia-sia, yang menguntungkan dari yang merugikan.
Orang bijak biasanya lebih sibuk menghisab dirinya sendiri daripada menghisab orang lain, selalu bersedia mendengarkan orang lain dan memberikan kontribusi, lebih memilih mencarikan solusi daripada menyalahkan, dan selalu berlapang dada dan bahkan berterima kasih terhadap kritik apa pun, bahkan meskipun kritik itu sangat pedas, kasar atau tidak proporsional. Bagi orang bijak, kritik menjadi jamu yang menyehatkan jiwa.
Lebih dari itu, orang bijak selalu mengisi waktu luang hanya dengan hal-hal yang bermakna dan bermanfaat. Meskipun terlibat dengan humor-humor, misalnya, orang bijak selalu tampil dengan humor-humor yang cerdas, humor-humor yang tetap mengandung hikmah dan pelajaran, bukan humor-humor yang hanya mengundang gelak-tawa tetapi sepi dari makna-makna.


Dengan ciri-ciri semacam itu, tidak mengherankan apabila orang bijak menjadi dambaan masyarakat luas, dan bahkan sedang ditunggu-tunggu oleh dunia, oleh manusia dan kemanusiaan.


Sekarang ini dunia tidak lagi benar-benar membutuhkan orang-orang pintar, pandai, atau jenius secara intelektual. Orang pandai sudah menumpuk. Sarjana-sarjana perguruan tinggi yang memiliki ilmu pengetahuan sudah melampaui batas-batas yang diperlukan. Tapi, dunia tidak lagi benar-benar membutuhkan manusia-manusia yang sekadar memiliki ilmu pengetahuan. Dunia lebih membutuhkan manusia-manusia yang bijak, manusia-manusia yang mengenal makna kemanusiaannya dan mampu menebarkan kasih sayang diantara sesama dan terhadap alam. Sebab, sebagaimana dikatakan orang bijak "Semakin banyak orang-orang yang pandai, semakin sulit dicari orang-orang yang jujur."


Orang bijak menganggap semua penyakit kemanusiaan timbul karena manusia hanya mencerdaskan otaknya saja tetapi mengesampingkan panggilan hati-nuraninya. Namun begitu, jauh lebih awal dari pada dua belas abad sebelumnya, Rasul dan para sahabat justru telah mempraktekkan konsep yang bahkan jauh lebih bermakna dan sempurna. Dengan Kitab Suci dalam diri, Rasul sudah mengumandangkan bahwa sesungguhnya yang buta bukanlah mata melainkan yang buta adalah hati (kalbu) manusia yang ada di dalam dada. Kitab Suci bahkan menyebut orang-orang yang tidak menggunakan kalbu mereka sama dengan binatang, bahkan lebih sesat lagi. Rasul dan para sahabat selalu memohon perlindungan kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat dan dari kalbu yang keras dan lalai.
Agama sebenarnya juga mendidik manusia antara lain untuk menjadi bijak ('ârif). Mendalami sebuah agama berarti sekaligus belajar bijak. Dalam timbangan ideal, orang beragama sudah semestinya bijak. Orang bijaksana hanya mengenal diri dan orang lain dalam konteks yang terpisah dari bingkai ketuhanan yang haq.
Jika orang-orang yang beragama ternyata masih gemar membicarakan orang lain alias tidak bijak, berarti ia masih belum benar-benar menggunakan kalbunya meskipun pada saat yang sama sering " berdzikir “ mengingat dan menyebut asma Tuhan dengan kalbunya. Dalam menjalankan agama tidak hanya menyangkut soal ibadah dan "banyak beramal", tetapi juga bagaimana "ibadah" itu dapat memberikan buah yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam berinteraksi dan berkoeksistensi dengan sesama manusia serta alam. Mendalami sebuah agama juga tidak sesederhana cerita yang disajikan dengan penuh kebanggaan, meskipun merupakan jalan lurus dan mulus menuju Tuhan, agama juga merupakan jalan licin yang penuh dengan tanjakan dan rintangan. Sedikit saja lengah, pasti tergelincir. Yang mengerikan, kita seringkali tidak menyadari bahwa kita sedang tergelincir dan melenceng dari rel ajaran agama yang benar.
Untuk itu, diperlukan tekad dan upaya untuk dapat menjadi orang beragama yang bijak. Apa pun, kalau kita masih gemar membicarakan orang lain alias belum menjadi orang bijak, kita layak khawatir terlibat dengan ungkapan orang bijak bahwa kita sebenarnya "belum menjadi orang beragama, tetapi baru pernah masuk dan mengenal ajaran agama".

Karena itu, kita perlu terus belajar dan belajar dalam memahami dan menghayati sebuah ajaran agama. Wallâhu a'lam. ( Okleq’s ).

Tidak ada komentar: