Herucoroko Sangkan Paran

Ungkapan yang sangat umum menggambarkan pandangan hidup orang Jawa adalah " SANGKAN PARANING DUMADI " (dari mana dan mau ke mana kita). Bagi orang Jawa hidup di dunia ini harus memahami dari mana ' asal , akan ke mana 'tujuan' dan 'akhir' perjalanan hidupnya dengan benar kassampuraning dumadi (kesempurnaan tujuan hakikat) dianggap " WIKAN SANGKAN ING PARAN ". Masyarakat Jawa mengartikan kata 'Jawa' bermakna 'mengerti' atau paham. Oleh karena itu, di dalam keseharian sering terdengar masyarakat Jawa melontarkan ungkapan seperti: 'durung jawa' (belum paham), 'wis jawa' (sudah paham), atau 'wis ora jawa' (berubah sombong atau atau buruk karena menjadi kaya -OKB- menjadi punya jabatan, menjadi punya pangkat, dll).

19 Oktober 2007

ANTARA EGO, IBADAH DAN TUHAN

Dalam menjalani kehidupan ini sering kali kita merasakan bahwa yang kita lakukan itu sebenarnya keinginan dari pada Ego, tetapi dengan mudah kita berkilah dan berdalih bahwa yang kita lakukan adalah merupakan panggilan Tuhan. Sering kita meneriak-neriakkan nama Tuhan, kita katakan dengan lantang membela Tuhan, tetapi sebenarnya hanya karena desakan Ego. Tuhan itu kan Maha Besar dan Maha Perkasa dan tak terkalahkan, masa perlu dibela…?.


Yang perlu dibela dan dilindungi itu kan orang-orang yang lemah, baik lemah secara moril maupun meteriil.


Dengan enteng sekali kita menyebut-nyebut “Asma Allah “ padahal dalam menyebut itu kita tidak sadar bahwa itu semua karena dorongan hawa nafsu kita.
Karena masih terbesit pamrih kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan dan kelompok kita. Padahal sesungguhnya yang demikian itu karena Ego kita…!!!.

Masa ada sih orang menyebut nama Tuhan karena Ego…??. He..he..anyak sekali kejadian-kejadian semacam ini yang secara tak sadar, bahwa apa yang mereka lakukan adalah karena dorongan Egonya. Sering kali kan...? kita melihatnya di TV bagaimana para demonstran dengan wajah-wajah menyeramkan sambil berteriak-teriak menyebut nama Tuhan menghancurkan rumah-rumah, mengejar-ngejar seseorang dan memukulinya atau bahkan sampai membununhnya hanya karena orang-orang tersebut telah menjalankan keyakinan yang berbeda dengan mereka para pendemo. Betapa mudah memang orang memanggil “ Allah…Allah “, namun sikap yang ditampakkan berlawanan dengan kelembutan Allah sendiri. Tuhan yang pengasih dan penyayang. Bukankah Tuhan mendahulukan kasih sayangnya ketimbang murka-Nya..??.

Banyak juga orang yang tidak mengenal Allah tetapi dengan gesit menyebut nama-Nya namun hanya terhenti sebatas di bibir saja.

Yang akibatnya bisa kita lihat bersama suatu kelompok keagamaan dengan tampilan lahiriah yang ditampak-tampakkan religius bak sekumpulan manusia bergamis, bersurban namun sayang dalam penerapan, aplikasi dan tindakan serta perbuatannya dalam kehidupan sama sekali tidak mencerminkan adanya kedamaian, kenyamanan dan kesejahteraan bagi orang-orang di sekeliling mereka.

Kita bisa lihat bagaimana rumah-rumah mereka yang dianggap sesat ini dirusak, dihancurkan, dibumi hanguskan. Manusianya diuber-uber seperti maling ayam, digebukin sampai berdarah-darah dan anehnya merekapun sambil menyerukan Asma Tuhan “ Allahu Akbar….!”. Sungguh merupakan kejadian yang sangat bertolak belakang dengan apa yang dipelajari dan agama yang dianutnya selama ini. Boleh-boleh saja kalau mereka mengaku sebagai umat yang beragama dan bibirnya mengucap Asma Tuhan, tetapi kenyataannya tindakan yang dilakukan sama sekali tidak mencerminkan “ af’al Tuhan “( perbuatan Tuhan ) yang Rahman dan Rahim.

Ego inilah yang banyak menghinggapi manusia seperti kita-kita ini dalam menjalani kehidupan sebagai makhluk sosial masyarakat maupun dalam kehidupan beragama sekalipun. Dengan Ego ini jugalah bisa mencerai-beraikan rumah tangga, bangsa dan negara. Bila salah satu pihak berlaku Ego, maka ada pihak-pihak lain yang direndahkan atau dianggap sepele. Otoritas atau wewenang orang lain diambil alih, karena pemilik kewenangan itu dianggapnya tidak berdaya. Bahkan secara tak sadar otoritas Tuhanpun diambil alihnya dengan dalih dan kemasan yang dibungkus dengan nama Agama dan kelompok, golongan tertentu. Apalagi dengan teriakan-teriakan menyebut Asma Tuhan, mereka begitu cekatan dan gesitnya meneriakkan Asma Tuhan, namun perilakunya sama sekali tidak mencerminkan “ kelembutan Tuhan “. Padahal kalau ditanya mereka juga katanya berpegang pada sebuah Kitab Suci dan Hadis lho....?.

Tuhan adalah Zat yang “ Wujud “ dan pasti ada-Nya yang senantiasa membimbing manusia menuju kehidupan yang baik dan benar. Tuhan itu ar-Rahman dan ar-Rahim, yang Maha Pemurah dan Penyayang. Agama yang datang di bawa para Nabi memiliki misi untuk keselamatan dunia. Tentu saja termasuk juga untuk keselamatan manusianya. Tetapi jika kita mau berbicara jujur, kita tahu bahwa banyak orang-orang yang merasa terancam keselamatannya oleh sekelompok orang dalam agama yang dianutnya. Disetiap agama selalu saja ada sekelompok orang yang merasa memiliki otoritas dalam memaksakan agama. Alasannya, orang tidak boleh dipaksa untuk memeluk suatu agama, namun kalau sudah masuk harus dipaksa…!. Ini yang dinamakan orang sudah bersaing dengan Tuhan. Kejadian-kejadian yang seperti ini yang perlu untuk dicermati dan diluruskan agar dorongan Ego seseorang tidak disamakan dengan seruan Tuhan.

Orang yang sudah berperilaku baik, guyub, rukun, saling tolong-menolong, saling menghormati antar sesama manusia tidak boleh dikatakan kafir, musyrik, syirik, sesat dan mereka akan masuk “ neraka “ sebelum mereka menjalankan perintah syariat “ ABC “ dalam suatu agama. Berbagai pernyataan orang akan masuk “ surga atau neraka “ jelas bukanlah suatu “ kenyataan “….!. Itu semata-mata “ hipotesis “ belaka, sesuatu yang lahir dari buah pikiran murni dari manusia. Agama memang perlu diajarkan dengan benar sehingga akan lahir manusia-manusia berperilaku yang benar dan lurus. Tidak ada paksaan, baik untuk memeluk suatu agama maupun di dalamnya. Mengapa…? Karena agama itu diturunkan oleh Tuhan yang Maha Pemurah dan maha Penyayang.

Tuhan memberi apa yang diperlukan oleh manusia sebelum manusia memintanya. Rezeki juga telah diberikan kepada manusia memenuhi alam semesta ini dalam wujud yang bukan siap saji dan rezeki tersebut diberlakukan kepada siapa saja dan tidak berkaitan dengan kelompok, golongan atau agama tertentu yang disandang seseorang. Itu-lah Tuhan yang Maha Pemurah…!. Tuhan akan memberikan imbalan langsung bagi orang yang berbuat “ kebajikan “. Itu-lah Dia yang Maha Penyayang..!. Agama diturunkan sebagai wahana agar manusia bisa berada di jalan yang benar. Dalam sejarah kerasulan tak ada orang yang menerima otoritas dari Tuhan untuk memaksakan agama kepada orang lain. Bahkan para Nabi-nabi hanya diperintah oleh Tuhan untuk memberikan pelajaran bagi manusia yang berkenan dan siapa yang terpanggil dan bukan untuk menguasai orang lain…!. Menguasai orang lain itu jelas menyalahi kodrat Tuhan...!!.

Secara teori orang akan mengerti bahwa Tuhan itu Maha Esa. Tuhan yang menciptakan alam semesta berupa langit dan bumi beserta segala isinya. Tuhan memberi petunjuk kepada manusia melalui nabi, rasul, utusan, dan pemberi petunjuk ( had ). Bahkan pada setiap kaum, masyarakat selalu ada pemberi petunjuknya. Perlu kita ketahui bahwa tidak semua nabi mempunyai Kitab Suci, sudah berapa banyak nabi yang diturunkan ke bumi ini. Tetapi hanya ada beberapa Kitab Suci yang ada di bumi, padahal setiap kaum selalu ada ‘ had’-nya. Bahkan disetiap kurun waktu dalam suatu agama selalu ada orang yang memberi petunjuk. Orang yang “ merevitalisasi dan memikirkan kembali ajaran agamanya “. Sehingga agama itu tidak ditinggalkan oleh pemeluknya.

Meskipun Tuhan itu pasti ada-Nya, namun Dia tak terjangkau oleh indra, budi dan pikiran manusia. Tak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya “ Laysa kamislihi syaiun ”. Tuhan tak dapat digambarkan dalam wujud seperti apapun. Karena itu manusia cuman diberi “ wahyu “ agar bisa memberikan pelajaran atau petunjuk kepada orang lain. Ada wahyu yang bersifat “ kitabiyah “ seperti Taurat, Zabur, Weda, Tripitaka, Injil, Al Quran dan lain-lain. Ada wahyu yang bersifat “ kauniyah “ atau kebenaran tanda-tanda yang ada di alam raya ini. Sehingga orang akan mengerti bahwa bumi yang mengitari Matahari dan bukan sebaliknya ini merupakan kebenaran “ hukum Tuhan “. Juga ada wahyu yang diberikan kepada seseorang sehingga dia dapat mengerti tentang rahasia alam.

Orang yang telah menerima wahyu dari Tuhan apapun namanya akan membuat hidup orang tersebut menjadi santun dan berusaha selalu mengarahkan orang lain menuju kehidupan yang benar dan lurus. Ia tak akan memaksa….! Mengapa…? Karena fungsinya hanya memberikan peringatan, petunjuk dan kabar baik agar umat manusia tidak tersesat dalam hidupnya. Orang yang bisa berkomunikasi dengan Tuhan akan dapat “ mewujudkan “ akhlak Tuhan.

“ Berbudi pekertilah kamu seperti budi pekerti Tuhan, kata sebuah hadis “.

Lantas, apa gunanya Nabi akhir zaman , bila masih ada orang yang diberi wahyu…?. Bukankah Kitab Suci dan Hadis sudah mencukupi..?. Kitab Suci hanya memberikan “ tanda-tanda “, ayat-ayat yang mengikuti lisan, bahasa, budaya dan zaman bagi nabi-nabi yang menerima kitab-kitab suci. Esensi kitab suci itulah yang harus dapat dipahami kandungan yang “ tersirat “ dari yang tersurat oleh pembacanya. Adanya seseorang majikan yang boleh menggauli budaknya, kata sebuah Kitab Suci. Ini jangan ditafsirkan bahwa perbudakan harus dilanggengkan agar si majikan bisa menyalurkan syahwatnya kepada para budak-budaknya. Ayat tentang perbudakan itu harus ditafsirkan ulang dan kalau perlu di simpan dalam lemari, ketika kita hidup di alam yang bebas dari “ perbudakan “. Tak perlu ayat tersebut dihidup-hidupkan lagi….!.

Disinilah perlunya lahir seorang yang mendapatkan “ hikmat “ dari Tuhan, sehingga bisa menterjemahkan sebuah Kitab Suci dengan bijak dan penuh kearifan.

Kitab Suci harus betul-betul hidup ditengah-tengah masyarakat atau umat yang membacanya. Sehingga kitab suci itu dapat menjadi “ panduan “ bagi orang-orang yang membacanya agar dalam menjalani kehidupan ini, manusia tidak berperilaku dan bertindak “ merugikan dirinya sendiri “ apalagi merugikan orang lain.

Kongkretnya begini :

Dalam kasus pencurian misalnya, mana yang lebih penting dan bermanfaat menerapkan

“ hukum potong tangan “ pada si pencuri atau “ membangun keadilan ekonomi “ sehingga tak lahir pencuri-pencuri…?. Disinilah diperlukan “ hikmat “…! Agar sebuah Kitab Suci itu dapat diterjemahkan dan diterima umat dalam kehidupan nyata. Karena orang yang mendapatkan hikmat dari Tuhan, sesungguhnya dia telah menerima “ kebajikan “ dari Tuhan.

Orang yang mendapatkan hikmat dari Tuhan sesungguhnya telah menerima “ KHAIR “ kebajikan, kekayaan, kesejahteraan, keuntungan dan caritas. Mereka yang menerima hikmat Tuhan itu adalah para “ ulil Albab “ yaitu orang-orang yang AKAL dan BUDI PEKERTINYA telah dipimpin oleh Tuhan yang tentunya sama sekali hal ini tidak terpengaruh dengan Pangkat, Jabatan ataupun Predikat dan bahkan tidak terpengaruh dengan sebuah nama agama yang dianutnya. Karena sesungguhnya “ hikmat Tuhan “ itu berada di luar system nama Agama yang disandang oleh seseorang. Orang itu bisa berprofesi apa saja, bisa petani, tukang becak atau bahkan seorang pemulung ( pemungut ) sampah sekalipun. Orang yang menerima hikmat dari Tuhan tidak akan benci lagi kepada orang lain. Orang akan mendapatkan hikmat dari Tuhan , bila ia mencarinya di alam raya ini. Dan seseorang akan dapat memperoleh hikmat jika aksi, tindakan dan perbuatannya tidak berlaku zalim di muka bumi ini.

Karena Tuhan tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang berlaku zalim

Sebagaimana ada dalam sebuah Kitab Suci ( Qs.Al Baqarah: 258, Qs. Al Maidah. 51, Qs. Al An’aam, 144, Qs. Al Ahqaaf. 10, Qs. Ash-Shaff. 7 dan Qs. Al Jumu’ah. 5 ).

Nah, siapa yang dimaksudkan orang-orang yang berperilaku “ zalim “ itu…?. Orang dzalim tidak berkaitan dengan pemelukannya terhadap sebuah nama agama yang dianutnya. Ia berada di dalam atau berada di luar sistem agama. Ia bisa terjadi di dalam komunitas Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto dan lain-lainnya. Yang jelas orang zalim adalah orang yang dalam menjalankan kehidupannya telah merugikan orang lain ( langsung maupun tak langsung ).

Kalau di dalam Al Quran, seseorang dikatakan zalim jika :

Orang yang mau menang sendiri dan tidak bisa menerima argument orang lain. Orang yang hanya mau mengakui kebenaran golongan, kelompoknya sendiri dan menganggap golongan lain salah dan sesat karena tidak berpijak pada kebenaran yang ada di dalam sebuah teks book Kitab Suci tertentu ataupun hadis tertentu yang dianutnya.

Bentuk kezaliman itu ada yang tampak halus dan kasar. Kezaliman yang halus yaitu ketika seseorang menggunakan pembenaran atas dalil-dalil agama demi untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri dan kelompoknya. Disebut demi kelompok-kelompoknya, karena kelompok lain yang seagama juga mempunyai dasar dan pandangan serta pemahaman sendiri dalam menegakkan kebenaran agama.

Kalau saya boleh mengambil contoh dalam realitas di negeri kita ini yaitu masalah “ syariat “ agama. Jika kita tidak ingin terjerumus dalam perbuatan kezaliman, maka kita tidaklah perlu ‘ ngotot “ untuk memasukkan “ syariat “ ke dalam sebuah Undang-Undang. Mengapa…?? Karena sebenarnya syariat itu lahir dari adanya “ pendapat, pemikiran dan pandangan para ulama ( tokoh agama ) yang murni berasal dari akal-akalan pikiran manusia yang kebenarannya masih sangat relatif. Itulah sebabnya bentuk gerakan dalam ibadah ( shalat misalnya ) ada bermacam-macam menurut golongan dan madzabnyanya. Hal demikian bisa kita lihat di TV pada saat musim Haji bagaimana orang-orang yang lagi mengerjakan ibadah shalat, antara yang satu dengan yang lain bisa saja tidak sama gerakannya namun tak sampai menimbulkan pertentangan atau pertikaian.

Namun kenapa di negeri tercinta kita ini kenyataannya bisa lain...??. Kita bisa lihat bersama-sama lagi-lagi dalam tayangan TV, setiap menjelang puasa ramadhan selalu ada saja kelompok/golongan tertentu yang memaksakan orang lain ( agama lain ) supaya menghormati yang berpuasa. Adakah agama mengajarkan cara-cara demikian...???.

Kejadian lainnya adalah dalam menentukan hari raya Idul Fitri khususnya shalat Idul Fitri masih saja terlihat adanya golongan, kelompok agama tertentu dengan mudahnya saling

” mengklaim ” bahwa golongan atau kelompoknyalah yang paling benar dalam menentukan pelaksanaan hari Idul Fitri dengan berbagai alasan dan argumen yang sebenarnya adalah cerminan dari pada ” ego ” pribadi sebagai pimpinan golongan/kelompok. Jika kita telah menganggap kelompok, golongan kitalah yang paling benar. Konsekwensinya adalah kita akan beranggapan bahwa mereka-mereka yang tidak segolongan dengan kita sudah PASTI SALAH.....!!. Secara tidak sadar kita telah menggunakan selendang dan pakaian Tuhan. Kita telah memakai ” hak Tuhan ” yang pada akhirnya kita telah menjadi Tuhan-Tuhan tandingan di Alam semesta ini karena ego kita pribadi....!!!!.

Ini baru salah satu wujud syariat saja, sudah berbeda-beda. Padahal syariat agama itu banyak sekali…!!. Kita ambil contoh nyata dalam kehidupan ini, adanya pemahaman yang dianut oleh golongan NU misalnya, Ketika Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden RI melakukan “ ziarah kubur “ dengan mengunjungi makam-makam orang yang dianggapnya shaleh, ada tokoh agama, tokoh masyarakat yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Gus Dur itu perbuatan “ syirik dan musyrik “. Padahal bagi kalangan umat NU, pergi ziarah kubur itu merupakan hal yang biasa dilakukan dari generasi ke generasi dan bahkan dikategorikan sebagai ibadah “ sunnah “. Nah…, ini baru masalah ziarah kubur saja sudah menimbulkan perbedaan pendapat yang bisa mengarah pada terjadinya konflik berdarah. Karena itu, pendapat suatu golongan, kelompok yang berkaitan dengan keyakinan seseorang dalam beragama “ tidak boleh “ dipaksakan penerimaannya kepada orang lain. Terlebih-lebih dipaksakan masuk melalui UU. Cara beragama yang dipaksakan adalah bentuk Ego manusia…!.

Jika agama sudah dikaitkan dengan politik dan kekuasaan, maka kehidupan agama sudah tidak lagi dapat menjadi “ jalan hidup dan jalan kedamaian “ yang bisa dilalui bagi para pemeluk-pemeluknya. Pihak yang menang dengan golongan, kelompok terbesar akan mengatakan aturan yang dipegangnya itu adalah benar. Pihak yang kalah akan dinyatakan salah. Agama bukan lagi menjadi “ jalan damai “ bagi siapa yang melaluinya, ia hanyalah sebuah “ dogma “. Dogma yang dipaksakan pelaksanaannya dalam kehidupan bermasyarakat.

Ternyata Ego lah yang memaksa orang untuk menjalankan kehidupan beragama dengan syariat-syariat tertentu. Dengan memaksa orang lain untuk sepaham dan sepihak dengan kita, berarti kita tidak bisa menerima cara yang ditempuh orang lain.

Cara dalam mengekspresikan agama, bukanlah “ kriminal atau pidana “ dan atau SALING MENYALAHKAN, MENGKAFIRKAN orang lain. Sepanjang ia hanyalah berupa ekspresi dan aktualisasi keagamaan tidak perlu dikaitkan dengan kekuasaan dan politik. Sepanjang ekspresi dan aktualisasi keagamaan itu tidak menimbulkan tindakan “ a-sosial, a-moral dan a-susila “ tidak perlu terjadi pelindasan, penindasan terhadapnya.

Menindas orang yang tidak sepaham dengan kita adalah “ wujud Ego “ dan sama sekali hal ini bukanlah merupakan seruan Tuhan….!.

Tuhan sangat mencintai perilaku “ kesalehan “, orang-orang yang berbuat baik terhadap sesama manusia yang biasa disebut “ iman dan saleh “. Tuhan sangat mencintai orang-orang yang mencintai tetangganya, menghormati tamunya dan tolong-menolong dalam kebajikan. Bersyukur, yaitu menciptakan nilai tambah dalam kehidupan ini, menciptakan kemudahan-kemudahan dalam kehidupan adalah merupakan “ manifestasi “ ketuhanan dalam diri manusia. Memelihara ketertiban dan kenyamanan bersama adalah wujud manusia “ taqwa “. Untuk hal-hal semacam ini, orang-orang yang mengaku beriman, sudah seharusnya terpanggil untuk membuat aturan dan Undang-Undang yang benar dan adil.

Lalu bagaimana dengan Ego…?. Ia lebih banyak mementingkan dirinya daripada kepentingan umum atau public. Kalau toh pandangannya itu kelihatan benar, tetapi lebih dimaksudkan untuk kepentingan golongan dan kelompoknya semata. Merasa paling benar dan menganggap orang lain salah dan sesat. Orang yang Ego lebih suka hidup dalam lingkungan “ homogen “ dari pada hidup dalam komunitas “ heterogen atau pluralitas “. Lebih senang menggunakan “ ayat-ayat “ sebuah teks book Kitab Siuci sebagai bentuk pembenaran pendapat dan kepentingannya ketimbang mencari solusi terhadap kenyataan yang ada. Ketika ada orang lain yang tidak seagama dengan kita yang telah membuktikan secara nyata akan kebenaran kandungan sebuah teks book Kitab Suci melalui penelitiannya, bahwa Bulan ternyata pernah terbelah atau Al Quran itu ternyata ada dalam diri manusia, langsung dengan bangga dan sombongnya kita mengatakan bahwa kebenaran itu sudah ada ayatnya dalam sebuah teks book Kitab Suci tertentu. Itulah contoh dan wujud Ego manusia….!!.

Dunia Ego memang harus ditaklukkan, karena Ego yang menguasai manusia ini sebenarnya bukan wujud yang kekal. Ia ada tanpa rupa, tetapi ia mampu memikat manusia yang hidup di dunia ini. Ia bagaikan angin yang berhembus semilir. Kadang ia datang pada diri manusia dengan kesejukan. Kadang ia juga datang dengan kegerahan. Perang yang selalu menghantui manusia juga merupakan wujud Ego. Perang yang paling besar adalah melawan Ego begitu kata sebuah Hadis. Ia datang dan pergi dalam dada manusia, tak pernah benar-benar keluar dan pergi dari dada manusia. Terkadang Ego menyelusup dalam pikiran. Lain kali ia mendorong perasaan. Baik yang turun dari pikiran maupun yang muncul dari perasaan, kedua-duanya berkutat di dalam dada dan membuat gelisah manusia.

Nah…, manusia haruslah bisa memisahkan budi yang tidak terpimpin dari Tuhan, Zat yang Maha Pelindung bagi hamba-Nya.

Jika manusia sudah mampu memisahkan wujud “ budi yang tidak terpimpin “, dengan Zat Tuhan, maka manusia akan dapat menerima jenis kehendak yang lain. Kehendak apakah itu…??. Yah…kehendak untuk mengendalikan dan mengekang Ego. Dengan cara melepaskan selubung-selubung Ego, seperti melepas anak panah yang tak diketahui lagi di mana busurnya.

Syariat, Thareqat, Hakikat dan Makrifat lenyap tanpa terpikirkan lagi, kesemuanya telah digulung menjadi “ satu keberadaan dan satu kenyataan “ dalam keheningan kisi-kisi QALBU sang DIRI. Pada saat itulah manusia akan mengetahui “ Jati Dirinya “. Manusia akan tahu tujuan hidup yang sebenarnya…!!.

Akhirnya akan menjadi manusia yang mendapat kewenangan untuk menentukan jalan kehidupannya sendiri. Manusia yang mampu menjalankan ibadah kepada Tuhan yang sebenar-benarnya dengan tidak penuh kepura-puraan dan kepalsuan….!.

Jika kita mendengar kata “ ibadah “, maka yang tertangkap oleh pikiran kita adalah bentuk tindakan ritual agama. Lalu, kalau ada orang yang tidak menjalankan ritual formal tersebut, kita akan katakan bahwa orang itu tidak “ beribadah “. Akibatnya, suburlah formalitas dalam kehidupan ini. Orang akan takut dicap atau dikatakan “ kafir “, maka rajinlah ia ketempat-tempat ibadah. Tetapi kezaliman dalam bentuk korupsi, manipulasi dan kong-kalikong, curiga terhadap orang lain yang tidak seide atau segolongan tetap langgeng dalam prakteknya. Orang lebih mementingkan perbedaan “ lahiriah “ daripada persatuan. Orang lebih suka terhadap “ keseragaman “ dari pada “ keberagaman “. Kalau ini yang terjadi, bukan ibadah yang subur tetapi merupakan bentuk ibadah upacara….!.

Manusia tidak bisa diseragamkan, karena masing-masing memiliki kadar dan batasannya sendiri-sendiri. Persatuan memang harus dibangun, tetapi bukan

“ kesatuan atau keseragaman “. Menyeragamkan orang-orang yang batasnya jauh berbeda akan menghancurkan “ tatanan kehidupan “ bagi masyarakat. Ini sama artinya kita telah menerima hal-hal yang bersifat “ Thaghut “ atau melampaui batas.

Sudah semestinya kita ini memandang bahwa semua agama diajarkan oleh para nabi-nabi berdasarkan “ realitas “, bukan atas dasar budi yang tidak terpimpin. Kita juga harus sadar bahwa ketika Nabi-nabi mengajarkan agama kepada manusia memang ( maaf mengambil istilah Jawa ) “ Bener dan Pener “. Benar karena agama diajarkan oleh para nabi diterima oleh beliau dari Tuhan. Pener karena agama diajarkan oleh beliau sendiri yang disesuaikan dengan kondisi, budaya, serta tingkat peradaban dan dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh masyarakat yang menerimanya pada masa itu. Agar agama itu tetap dianut masyarakatnya secara “ hanif “, lurus, makanya di dalam sebuah teks book Kitab Suci banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk “ berpikir, bertafakkur, bertadzabur, bertazakkur dan bernalar. Tujuannya apa…?. Supaya kita-kita ini dalam beribadah tidak memperturutkan “ hawa nafsu “ atau Ego. Mengikuti hawa nafsu, memperturutkan keinginan tanpa pikir, dapat menjatuhkan diri ke dalam dunia hampa yang penuh kegelapan. Karena itu dari segala jenis berhala yang paling berbahaya bagi manusia adalah “ mempertuhan hawa nafsu “ alias thaghut. Jangan sampai keimanan kita gugur gara-gara secara tak sadar kita telah ber Tuhan pada hawa nafsu kita sendiri…..!!.

Jelas, bahwa inti hidup manusia beragama adalah mengingkari bentuk “ thaghut “ yaitu menolak ber-Tuhan pada hawa nafsu. Sikap demikian yang seharusnya kita tampilkan, aplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Biarkan orang-orang bekerja diladangnya dengan tenang. Biarkan orang saling menolong sesuai kemampuannya dengan nyaman. Jangan ganggu orang yang melakukan ritual keagamaan berdasarkan keyakinan dan pemahamannya. Jangan paksa orang untuk menjalankan syariat yang dirasakan asing baginya. Sebab menjalankan syariat yang sama sekali tidak dimengerti, dipahami manfaatnya, ibarat orang yang berjalan tetapi tidak tahu kemana tujuannya. Hal ini sama saja beribadah dengan “ kepalsuan penuh kepura-puraan “ dan membohong diri sendiri.

Sudah semestinya dalam beribadah terlebih dahulu kita harus memahami makna “ iyya kana’budu “ hanya kepada Tuhan kami beribadah, betul-betul kita resapi, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dengan wujud dan karya nyata. Bukan hanya beribadah dalam konteks “ritualnya”, melainkan dengan aksi, tindakan dan perbuatan yang bisa dirasakan manfaatnya oleh sesama. Bagaimana bisa disebut ibadah hanya kepada Tuhan bila yang kita lakukan masih dalam bentuk ikut-ikutan atau apa katanya…?. Apakah bisa disebut ibadah kepada Tuhan jika yang kita lakukan karena ketakutan…?. Apakah bisa disebut ibadah kepada Tuhan jika yang kita lakukan karena mengharap pahala dan surga…?. Apalagi karena keterpaksaan mengikuti sebuah perintah hadis dan teks book Kitab Suci…!.

Seseorang yang telah mengerjakan ladangya dengan benar, lalu menanam benih ke dalam lubang sambil mengingat Tuhan Yang Mahakuasa, itu disebut ibadah. Seorang karyawan yang bekerja di Perusahaan dengan benar dan mengikuti segala aturan yang ada di dalamnya, itu juga bentuk dari pada ibadah. Jadi prinsipnya ibadah adalah bentuk-bentuk pengabdian yang nyata. Bukan berbuat atas dasar angan-angan, kalau yang demikian namanya kita beribadah dalam hayalan. Jika seseorang ingin kenyang ya harus makan, jika ingin punya uang ya harus bekerja. Kalau kita ingin “ ilaihi raji’un “ kembali kepada Tuhan ya harus tahu jalannya….!. Jalan itu telah dibuat oleh Tuhan di dalam diri kita.

Jadi kalau kita mau beribadah dengan benar, yah…sudah seharusnya kita cari dalam diri kita….! Karena Tuhan itu sudah ada dalam diri manusia dan tak perlu jauh-jauh manusia dalam mencari Tuhan-Nya…!!. Sebagaimana yang telah tersirat dalam suratan Kitab Suci (QS. Al Hadid. 4) yang terjemahannya demikian :

“ ................Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan “.

Atmosfir yang berkembang dalam komunitas agama, ibadah baru dipahami hanya sebatas “menyembah” kepada Tuhan. Ibadat atau dalam bahasa Arab berarti a-ba-da, yang memiliki arti jamak berupa melayani, menyembah, menghambakan diri, menundukkan diri, mencintai dan memuliakan.

Jika seseorang melayani Tuhan, maka Tuhan akan melayani orang. Bukankah hal ini juga telah tertulis dalam Kitab Suci QS. Al Baqaarah 152 dikatakan “ Berdzikirlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku berdzikir kepadamu “.

Lalu diayat yang lain QS. Al Baqaarah 156 “ Aku mengabulkan permohonan orang yang meminta kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi permintaan-Ku dan beriman kepada-Ku “.

Dan, apa kira-kira bentuk permintaan Tuhan itu…?. Ternyata di dalam Kitab Suci, manusia dilarang untuk berbuat zalim, merusak alam beserta isinya dan segala bentuk tindakan yang “ memperturutkan hawa nafsu “.

Disamping ada permintaan yang bersifat larangan, ada pula yang bersifat perintah. Dan, yang diperintah oleh Tuhan kepada manusia adalah seseorang harus berbuat baik dan adil terhadap sesama, menebarkan kasih sayang, membangun persaudaraan antara sesama dalam lintas agama, budaya dan bangsa. Seseorang juga disuruh untuk memberikan pertolongan dan perlindungan bagi yang lemah.

Permintaan ini harus dibarengi pula dengan keimanan kepada Tuhan. Yang mesti kita pahami, iman bukan hanya sekedar percaya dalam bentuk ucapan, kalau yang ini anak kecil saja pun bisa, tetapi iman merupakan perwujudan dari hati yang aman dan jiwa yang rela….!!. Aman dari apa…?. Tentu saja aman dari sifat-sifat kedengkian, hasud, dendam, kesombongan, iri hati, dan berbagai macam sifat negatif lainnya.

Dalam komunitas pendaki spiritual, untuk bisa beribadah guna mendapat bimbingan dari Tuhan, manusia harus bertahali, mengosongkan hati ( qalbu ) dari berbagai sifat negatif. Bertahali yaitu menghiasi qalbu dengan berbagai sifat positif. Nah bila hati ( qalbu ) manusia sudah aman dan tenang, maka akan bersemayamlah Tuhan di dalam hatinya. Bukankah langit, bumi dan segala isinya tak akan mampu menjangkau Tuhan…?. Tetapi hati orang mukminlah yang mampu menjadi tempat bersemayam-Nya Tuhan.

Makna ibadah yang lain adalah mengikatkan diri kepada Tuhan. Juga disebut dengan menundukkan diri kepada Tuhan. Dalam makna ini seseorang yang beribadah haruslah jauh dari segala pamrih terhadap sesamanya. Cara untuk menundukkan diri pun tidak bisa diprogram, dipola dan diatur oleh orang lain. Sama dengan orang yang mau makan, batas kenyang seseorang tidak dapat ditentukan oleh orang lain.

Mengikuti diri sendiri tidak sama dengan berperilaku semena-mena, semau gue, sak kepenak-e udele dhewe. Mengikuti diri sendiri itu terlahir dari “ pencarian makna “ hidup, bukan karena bentuk “ kefrustasian ” menjalani kehidupan. ( Kariyan - Okleq’s )

1 komentar:

taidaise mengatakan...

The Hollywood Casino at Charles Town Races - JDH
Located in the historic Charles Town, near the town of Charles 여주 출장마사지 Town, 강릉 출장마사지 we've got your sights set on 포항 출장마사지 Hollywood, right here 파주 출장안마 in Charles 청주 출장마사지 Town, Louisiana.